Minggu, 22 Desember 2013

Sebut Saja Reward



Jreng..jreng..
Kamis, 5 Desember 2013
Mungkin terdengar lebay dan sebangsanya. Di tengah-tengah perayaan kecil-kecilan ulang tahun salah satu teman, ada nomor baru menelpon di nomor xl ku. Suara cowok, dan tidak mau memberitahukan identitasnya. 

Kurang lebih begini percakapan singkat kami di telepon:
“Dengan Mbak Fatimah Ulfah ya?”
“iya”
“Suka nulis cerpen ya?”
“Lumayan sih.”
“Gini mbak, saya pernah baca salah satu cerpennya mbak kalo nggak salah judulnya waktu merebut cintaku. Keren mbak cerpennya.”
“Oh iya makasih, ini dengan siapa ya?”
“Gak penting lah mbak siapa saya.”
“Orang mana?”
“Palu.”
“Oh.., dapat nomer hape saya dari mana?”
“Kan ada di info kontaknya mbak.”
“Oh, iya ya.”
“Mbak punya fanpage?”
“Gak ada, cumin blog aja.”
“Ya udah mbak, ditunggu cerpen berikutnya.”
“Iya.”
Tut..tut..tut..
                                                                                                                            
Habis itu saya cumin bias terheran sendiri. Itu cerpen postingan tahun 2012 kalo nggak salah. Campur aduk sih perasaan, seneng, heran, exicted, girang sendiri. Ternyata ada juga yang baca blog ku sampe bela-belain nelpon segala. Abis itu langsung deh ku cek kembali cerpen lama itu. Senyum-senyum sendiri juga sih akhirnya, karena emang cukup keren kata-katanya. Malahan sampe gak percaya kok bias saya menulis dengan kata-kata yang cukup indah (menurutku).

Ohya, satu lagi kutipan sms nya yang bikin saya serasa melayang:
“isi ceritanya tentang rasa cinta dalam persahabatan, ukurannya mini, diksinya kuat, menarik untuk dibaca.”

Siapa pun kamu, terima kasih atas apresiasinya. Sungguh menjadi sebuah reward yang memotivasi saya untuk terus menulis. Emm, cerpen berikutnya belum di posting karena emang masih dalam proses. Karena masih terpending. Saya masih focus di skripsi. Insya Allah secepatnya terbit.

Minggu, 08 Desember 2013

SKRIPSWEET



Hai skripsi. Apa kabar di Desember ini? Masih betah dengan saya? Ya ampun.. padahal ingin sekali rasannya mengucapkan selamat tinggal padamu di akhir tahun ini. Ternyata pesona ku masih begitu begitu memikatmu. Tak ada toga di akhir tahun yang gerimis. Tepatnya belum.
Oh skripsi, bagaimana bisa kau begitu menggalaukan? Seandainya jari-jari ini tidak keriting karena tuntutan enam bab mu, telah ku bukukan kisah teman-temanku yang pernah berkencan dengan mu.
Biarkan ku sejenak mengeluh tentangmu.
Bahkan bergadang adalah hal yang biasa, bahkan sebelum tingkat akhir. Capek, lelah karena turun lapangan untuk mengambil data pun bukan moment yang greget untuk mengingat mu. Mata yang lama-lama jadi minus karena kelamaan depan leptop pun klise buat mahasiswa. Printer yang selalu memuntahkan hingga terbatuk-batuk ratusan kertas yang bertuliskan sejuta jurnal dan angka juga masih hal yang biasa. Bajet yang bikin nafas jadi separuh juga masih bisa termaafkan.
Lebih dari itu, kau membukakan mata tentang legowo dan dewi fortuna.
Legowo, begitu orang jawa bilang. Menanti beliau yang sibuk punya waktu luang untuk memeriksa draft skripsi, lalu mencoretinya dengan cantik. Legowo yang paling ekstrim saat lembar kontrak waktu terisi semua dengan tanda tangan pembimbing dan penguji dengan hari dan jam yang sama. Ekstrim, tak ada yang mengalahkan suara nafas lega seorang mahasiswa tingkat akhir saat kertas itu rampung ditandatangani. Ekstrim, dan mulai perampungannya 3 hingga 60 hari. Dan saat ini lah saya bertanya. Berapa jumlah dewi fortuna? Kemana dia? Dewi fortuna, seperti apa rupanya. Pasti sosok yang pemilih. Tentu saya tidak tau, dia tidak pernah menampakkan dirinya. Ya sudah, bahkan sekarang saya tak percaya jika ia ada. Misalkan ada yang punya dewi fortuna, tolong pinjamkan kepada saya hingga akhir tahun ini saja. Pasti akan saya kembalikan dengan utuh.

Jumat, 29 November 2013

Kisah si bungsu.

Paling bontot dari empat bersaudara. Si bungsu yang kini telah remaja dan hampir menyaingi tinggi kakak sulungya. Si bungsu yang pernah menjadi murid teladan di sekolahnya. Baju rapi yang tidak pernah terurai berantakan, sepatu bersih lengkap dengan kaos kaki. Rok biru tua yang telah disetrika licin, topi dan dasi seragam selalu. Culun? Tentu tidak. Rapi dan bersih.
Si bungsu yang pernah jadi juara umum dan murid teladan juga pernah jahil. Menjahili guru baru yang menurutnya tidak berkompeten di mata pelajaran yang beliau pegang.
#jam pelajaran IPS
Bungsu: “Bu guru, otoriteritu yang kayak gimanasih?”
Ibu guru: “Otoriteritu..umm..” (buka buku cetak IPS buru-buru)
Bungsu: “Ibu tau nggak sih sebenarnya?”
Ibu guru: “Iya, ibu tau dong.”
Bungsu: “Trus, ngapain kok buka-buka lagi buku cetak?
Ibu guru: “Ibu cuman pengen mastiin aja jawaban ibu sesuai buku ini.”
Bungsu: “Kalo kayak gitu sih, kita-kita juga bisa kali Bu”. (buang muka ketemen sebelah bangku sambil ngetos, senyumn gejek dan angkat alis sebelah).

#jam pelajaran IPS hari berikutnya
Bungsu: “Ibu, saya mau Tanya. New York itu di Negara manasih?”
Ibu guru: “New York ya? New york itu di luar negeri, di sana kota nya besar, ya hampir samalah dengan Jakarta.”
Bungsu: “Bu, kan saya nanyanya New York itu dimana, bukan New York itu bagaimana.”*pasang muka sok cemberut
Teman bungsu: “Sum, itu kan ada jawabannya di halaman 105. Ngapain nanya-nanya lagi ke bu guru?”
Bungsu: “Biarin aja, aku kerjaini bu guru. Abisnya, dia gak tau gitu pake ngajar IPS segala.”
*beberapa hari kemudian ibu guru yang sebelumnya mengajar IPS berhijrah dengan mengajar mata pelajaran muatan lokal. Misi si bungsu berhasil.

Si bungsu juga lumayan cerewat mengikuti celoteh versi kakak sulungya. Sering memprotes segala ejaan kata dari sang ayah yang menurut telingaya tidak sesuai.
Ayah :“Sum, kamu itu jangan lebaii.”
Bungsu :“Aduh, Paaah.. bukan lebaii cara ngomongnya. Tapi, lebay. Pake ye belakangnya. Bukan i.”
Ayah :“Kamu itu sum. Suka sekali protes Bapak.”
Bungsu :”Kan bapak emang salah. Aneh tau Pah dengernya”
Ayah: *geleng-geleng kepala sambil senyum
Si bungsu adalah mahluk paling sayang rupiah dibandingkan ketiga saudaranya. Pernah memilah-milah baju bekasnya yang masih layak pakai untuk di jual kembali kesepupunya. Lima ribu tiap lembarnya. Alhasil, hanya selembar baju yang laku. Kisah lain, sibungsu mengumpulkan sisa tepung terigu, gula, margarin dan telur ayam yang lolos dari timbangan ibunya di warung. Buru-buru ia menuju dapur dan mulai bergelut dengan peralatan dapur.
Sulung: “Sum, ngapain?”
Bungsu: “Bikin kue kak, kue biji ketapang. Mau gak?”
Sulung: *muka bingung. “Baik hati banget kamu dek. Boleh deh. Entar bawa ke ruang tengah yah. Lagi rame tuh nonton.”
Prosesi memasak kue pun selesai. Si bungsu buru-buru ke ruang tengah.
Bungsu: “Nih, semua. Jangan malu mencoba. Enak kok.” *sambil menyodorkan nampan berisi kue biji ketapang.
Sulung: “Kok pake kemasan plastic segala?”
Bungsu: “Emang, kan mau saya jual sama kakak-kakak yang mumpung hari ini lagi pada ngumpul. Lima ratu saja kok perbungkusnya.” *muka sumringah sambil memperlihatkan lima jarinya
Semua: Menatap kearah bungsu, ada yang bingung, melongo, tertawa kecil, dan menghela napas panjang.
Si bungsu emang lebih unik di banding 3 saudaranya yang lain. Meski bungsu, tidak pernah ia menanmpakkan sikap manja. Meski begitu ia tetaplah lebih peka dan sensitive. Pernah, hanya Karena gaya berhijabnya, ia ditegur oleh abangnya. Tidak ada yang salah dengan gaya hijabnya, hanya saja abangnya yang jahil dan tidak terlalu mengerti hijab. Dari pagi hingga jelang tidur tak ada sepatah kata yang ia keluarkan. Tunduk dan terkadang menangis. “Hai dek.. ini kan lagi lebaran..”
Si bungsu juga suka menulis diari diam-diam di kamarnya. Tapi dasar abangnya yang jahil dan iseng diam-diam membaca diari si bungsu. Malu? Otomatis. Tanpa pikir panjang seluruh lembar diari habis di makan api. Si bungsu membakar diarinya sendiri.
Si bungsu emang ngangenin. Celotehnya, gaya bicaranya, pemikirannya, dan ide-ide konyolnya. Dan jempol buat si bungsu.Yang telah berani berhijab lebih awal di banding kakak-kakaknya di waktu remaja.
Semoga tetap menjadi si bungsu yang penyayang, manis, dan mandiri. Kakak kangen cerita-cerita anehmu yang harusnya bisa di bukukan.

Kamis, 21 November 2013

Dibuang Sayang

Semua ini tidak boleh terjadi. Ini semua gak benar, gak berarti salah juga sih. Sial, zona apa ini? Ada yang tidak beres, oksigennya terasa berbeda. Bukan hanya kisah klise yang norak dan kampungan. Tentang hati yang sedang berhijrah, tapi sayang ia tersesat. Menginginkan yang lebih dari jatahnya, mengaharapkan jauh dari porsi aman.
Usia yang telah dewasa. Kehidupan yang semakin menggalaukan. Tentang pilihan. Lebih sulit dari dugaan awal. Tolong ajari bagaimana harusnya memilih, bangaimana membedakan, dan bagaimana harusnya menetapkan. Karena semuanya indah dan mempesona, tidak satu, dua atau tiga. Lebih dari itu. Kisah yang rumit. Salah besar saat semuanya harus dirampas. Bukan tentang kerakusan, tapi takut kehilangan. Terlalu indah untuk di lepas. Dibuang sayang, begitulah istilahnya. Terlalu banyak kenangan nyaman yang tercipta.
Menasehati diri sendiri, selalu. Memantaskan diri dan menunggu. Uuulaaalaaa, gampang sekali melisankannya. Stay di zona aman, tak boleh offside. Huh, rasanya dada ini mulai sesak. Bagaimana saat rindu itu datang dengan hebatnya, bahkan cemburu pun saya tidak berhak. Sebab saya belum lah siapa-siapa.
Untuk sekarang, hukumlah saya karena semuanya ingin saya pertahankan. Salahkan saya karena semuanya tak akan saya dalam genggaman semu. Biarkan saya menikmati pesona abu-abu yang membunuh rasa secara perlahan. Hingga satu per satu terlepas, hilang, dan mati. Dan ada yang bertahan manis membisu. Siapa pun kamu, semoga kita cepat berjumpa.

Jum’at, 22 November 2013

1.48 am

Sabtu, 09 November 2013

sebut saja..nyaman

Keren, saat kita bisa menjadi diri sendiri seutuhnya. Menjadi diri sendiri seperti apa? Itulah pertanyaan yang mengiringi perjalanan hidup saya selama ini. Bahkan membingungkan, kapan sih sebenarnya tahap pencarian jati diri itu? Lewatmi kah? Atau belumpi? Menjadi diri sendiri adalah posisi kita di mana menemukan nyamannya kita. Lha sekarang, saya tak begitu dekat dengan nyaman itu. Nyaman yang begitu banyak dalam imajinasi, seiring waktu semakin banyak. Nyaman yang perlahan menjadi draft list mimpi yang menumpuk. Gawat, semua semakin menggalaukan.
“Simple sih sebenarnya. Cukup mencintai apa yang dikerjakan. Gitu aja. “
“Tapi memulainya susah.”
“Ya udah, tinggal mulai aja.”
“Ngomong doing sih gampang.”
“Ya gampangin aja.”
“Ampun deh.”
Maunya apa?
Pengen menghirup oksigen sepuasnya, memandang luas hingga mata lelah dan berkedip, berjalan sejauh mungkin, berlari sekencang mungkin, sesekali terasa terbawa angin, mandi hujan hingga menggigil, setelahnya lihat pelangi, lanjut mengucapkan selamat tinggal pada sunset, dan pulang istirahat, tengah malamnya bersujud pada sang pencipta. Indahnya hidup.