Hay Bunda, Apa kabar
dengan jeda waktu ini? Masih meyimpan rindu? Masih menjaga cinta? Masih menitip
do’a?
Hari
ini adalah tepat 10 tahun kepergian ayah meninggalkan bunda, meninggalkan aku,
dan dunia ini untuk selamanya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap hari ini
aku dan bunda selalu menginap di vila keluarga kami. Dan setiap hari ini pula
festival lampion selalu terlihat indah dari teras vila. Tak pernah sekali pun
aku melepas lampion di festival sepeninggal ayah. Karena ayah telah pergi
bersama lampion terakhir yang ku lepas 10 tahun lalu.
10
tahun adalah waktu yang sangat lama tanpa ayah, pria paling ganteng di keluarga
kecil kami. Karena aku anak tunggal. Suasana malam ini jauh berbeda dari
tahun-tahun sebelumnya. Bunda bertambah renta dan aku semakin dewasa, bahkan
keluarga kecil yang baru telah siap menjemput ku.
Aku
dan bunda duduk manis di teras vila menantikan detik-detik ribuan lampion
berterbangan menuju langit. Bunda terlihat lebih cantik dengan syal merah muda
pemberian ayah yang melilit longgar di lehernya. Tampak beliau cukup merasakan
hawa dingin dengan melipat kedua tangan di dada meskipun ia telah memakai
sweter rajutan hangat.
Aku
pun menggeser kursi ku lebih dekat dengan kursi bunda. Kemudian menyandarkan
kepala ku di pundak beliau. “Bun, kayak kunang-kunang ya?” Ucapku sambil
menunjuk ribuan lampion yang berterbangan jauh di depan mata kami.
“Iya.”
Jawab beliau pelan dan singkat.
“Bunda
sedih?” Tanyaku sambil menatap dalam mata nya.
“Tentu.
Siapa yang tidak sedih jika harus melepas anak gadis satu-satunya kepada orang
lain.” Katanya pelan sambil mengusap beberapa bulir air di pipinya. Aku dapat
melihat bulir air itu dengan jelas meski cahaya remang.
“Bunda..”
ucapkau sambil memeluknya dari belakang. “Kita masih serumah kok nanti. Aku gak
akan kemana-mana.”
“Tetap
saja, bunda harus berbagi dengan suami mu.”
Aku
kembali duduk di lantai dan menyandarkan kepala di paha beliau. “Baru calon kok
bunda. Belum jadi suami.” Kata ku sambil tertawa kecil berniat sedikit bercanda.
“Bunda
tenang saja. Tidak akan ada yang berubah. Aku malah tambah sayang sama bunda.”
Ucap ku manja.
“Iya..iya..
bunda tau. Bunda juga makin sayang sama anak bunda yang paling cantik ini.”
Bunda mencubit kedua pipi ku seperti memperlakukan anak TK.
“Bunda,
bunda yakin ingin tetap sendiri? Banyak lho yang mau sama bunda. Papa nya Iren teman
SMA ku misalnya.” Ucapku dengan nada gurau.
“Papanya
iren?” Raut muka bunda sontak berubah. Garis kerutan wajah seakan pudah hilang
disulap. Helaian uban pun menghitam. Ada sititik jerawat manis di pipi kiri
beliau. Rambut hitam panjang dengan poni tebal yang menyentuh alis terasa nyata
ku lihat. Senyum manis yang menampakkan gigi putih rapinya begitu lama ia
pamerkan pada ku. Ini lah bunda ku yang kurasa kembali menjelma pada raga
seragam putih abu-abu nya masa lampau.
Tak
perlu kau merangkai kata wahai bunda ku. Kisah mu dapat ku simak dari garis
senyum dan binarnya mata yang tak pernah lelah untuk berseri. Aku dapat
melihatnya dengan jelas. Sosok itu. Sosok yang membuat engkau begitu mencintai
ayah. Cinta pertama mu bunda.
Ku
pastikan kata-kata ku ini tidak salah. Mungkin seluruh cinta dan kasihmu telah
sepenuhnya kau berikan pada ayah, tapi ada ruang rahasia di hati mu yang kau
simpan segenggam rindu yang hanya kau
dan sang pemiliki rindu yang tau.
Sosok
itu bunda, yang selalu meggetarkan jantung mu setiap kali kau dengar namanya,
yang pertama memberi mu pengalaman tentang cinta manusia, yang tega membiarkan
mu merasakan darah yang membeku sebab patah hati. Sosok yang dapat kau hitung
dengan jari tangan mu berapa kali kau beradu kata dengan nya. Hanya sekali kau
menyentuh telapak tangannya untuk sebuah perpisahan.
Sosok
itu bunda, yang tak lelah hadir dalam setiap mimpi-mimpi mu, yang membuat mu
keringat dingin jika beradu pandang dengannya. Sosok yang membuatmu memliki
dunia saat ia tersenyum pada mu. Dan sosok itu yang berhasil menghipnotismu
untuk menciptakankan ratusan puisi cinta. Sosok itu adalah alasan kenapa setiap
oksigen yang hirup tiap detik terasa begitu segar.
Apakah
aku salah bunda? Cinta pertamamu sepenuhnya milikmu. Rasa yang kau rahasiakan
seutuhnya milikmu. Rindu dendam mu selayaknya adalah penguasa hatimu.
Sekali
lagi Bunda, katakan jika aku salah. Jika di hari sebelumnya ada kesempatan
memilih, mungkin aku tak akan pernah terlahir di dunia.
“Sayang,
kok ngelamun?” Dengan muka bingung bunda beberapa kali menepuk bahuku.
“Eh,
maaf bunda. Tadi sampai mana? Aku cengengesan”
“Dari
tadi bunda Tanya, papa nya Iren yang mana?”
“Itu
loh bunda, teman SMA bunda. Om didi. Masa’ lupa?” Aku dengan nada sedikit
menggoda.
“Udah
lah, jangan goda bunda terus. Bunda kan udah pernah cerita tentang itu. Jangan
dibahas ya.!” Untuk kedua kalinya bunda
mencubut kedua pipiku. “Kamu sendiri gimana sayang?”
“Apanya
bun?”
“Cinta
pertama.” Dengan nada pelan bunda berbisisk ke telingan ku.
“Ah
bunda, apaan sih. Sama kayak bunda. Masa lalu bun. Aku sedang akan menjemput
masa depan.” Kemudian aku menghela napas panjang bersama menghilangnya
lampion-lampion di telan langit malam.
Tanpa
aku bercerita pun aku yakin bunda bisa membaca kisah ku seperti aku membaca
kisahnya. Dan seprti ini lah kehidupan yang sebenarnya, Bunda. Kau mewariskan tulisan
kisah cinta mu kepada ku yang belum sempurna. Akhirnya aku lah yang harus
mengakhiri tulisan ini hingga halaman terakhir dengan cerita benang merah cinta
pertama mu.
Hay Bunda, Apa kabar
dengan jeda waktu ini? Tetaplah meyimpan rindu.
Tetaplah menjaga cinta. Tetaplah menitip do’a.