Minggu, 30 Juni 2013

new story



Pelangi itu indah karena ada tujuh warna yang beriringan bersama. Jika salah satunya tak ada, maka warna-warna itu bukanlah pelangi. Hanya enam warna yang entah apa namanya. Menurutku ia msih indah, hanya tak bernama. Ku bayangkan diriku dan enam sahabat ku itu seperti pelangi. Pas, kami berjumlah tujuh orang dengan sifat dan karakter yang tak sama. Persis pelangi. Rianda Alfmayra, nama yang cantik pemberian orang tuaku 19 tahun silam. Tapi ke enam sahabat tengil ku lebih suka memanggilku Dinda. Ngomong-ngomong, aku belum memperkenalkan keenam sahabat tengilku. Pertama Iko, mahluk paling baik hati yang pernah ku kenal. Aku yakin, jika telah menjad hakim atau jaksa kelak, ia akan menjadi pembela kebenaran. Hehehe. Selanjutnya Juno, si ganteng calon profesor. Dan cowok yang terakhir adalah Fedi, yang menurutkan akan jadi menteri kesehatan RI nantinya karena jiwa leadernya yang luar biasa. Dan berikutnya giliran para ladiesnya. Alisha, Nurul, dan April. Tak ada sifat spesial yang menonjol dan unik dari kami kaum hawa. Yang jelas kami punya kesamaan tunggal, penggila traveling tahap awal. Meski belum dengan pengalaman sebanyak backpecker lainya, setidaknya provinsi tempat kami sekarang berpijak telah kami jajahi mulai dari tempat wisata hingga kulinernya. Dan tentu atas dampingan prajurit-prajurit yang setia, Fedi, Juno dan Iko. Tak ada yang lebih bahagia rasanya saat berkumpul dengan mereka yang menyayangi ku. Dan mereka itu adalah sahabat-sahabatku. Pelangi ku.
Seperti biasa, awal bulan merupakan ritual wajib aku dan keenam sahabatku berkumpul. Jangan heran kalau kami mengadakan arisan bulanan. Mungkin aneh bagi sebagian orang karena jumlah kami yang sedikit. Hanya kami berenam, meski ada juga arisan lain untuk teman-teman SMA. Taman belakang kampus adalah adalah target kami kali ini. Suasana pagi yang segar, dengan pemandangan sungai kecil yang mengalir pelan dan manusia-manusia yang berlalu lalang dengan sepeda maupung berlari-lari kecil adalah konsep arisan bulanan kami kali ini. Karena ini adalah pengocokan arisan yang terkahir, makannya suasananya berbeda dari biasanya.
Tergesa-gesa ku berjalan menuju tempat pertemuan kami. Matahari memang masih hangat. Tapi belum ada siapa pun di tempat yang sebelumnya kami sepakati untuk kumpul. Tiba-tiba seseorang berteriak memanggil nama ku.
“Dindaaaaaaaa........!!!, di sini woeee.. di sebelah sini.. telat kamu. Cepetann...!!!”
Aghh, suara cmpreng April seperti terhujam dari langit. Aku pun langsung berlari ke arah mereka.
“Ganti tempat kok gak bilang-bilang. Aku kan jadi kebingungan jadinya.” Ketus ku
“Soalnya di sini lebih adem, Dinda sayang.” Lagi-lagi April. Sambil menarik tangan ku untuk duduk di sebelahnya.
“Yang bawa makanan siapa? Aku belum sarapan lho. Haus juga neh abis larian tadi.”
Fedi, Juno, Iko, Alisha, Nurul dan April bersamaan menatap tajam kearahku.
“Hheee..?? kenapa pada bengong? Kalian kenapa? Ada yang aneh sama aku? Sambil ku periksa pakaian ku.”
“Ahahahahahahahha.. Dinda, emang enak dikerjai. Gak napa-napa kok. Anak-anak lagi pengen iseng aja ma kamu. Soalnya dari tadi kamu ditunggu, lama banget. Dah jam 7 neh, dah mulai panas, makannya kita ganti tempat.” Juno meledek ku.
“Aishh.. gak lucu tau.”
“Ya, udah kita mulai aja.” Fedi langsung mengambik alih pembicaraan.
“Kita sarapan dulu dong. Sela Nurul. Lis, mana bekal nya tadi?”
“Ini udah aku siapin semua.” Alisha meletakkan  roti dan selai di tengah-tengan kami berenam.
“Ya udah, sekarang kita sarapan dulu, udah pada kelaparan kayaknya semua. Bismillahrrahmanirrahi, allahumabariklana fiimarajqtana waqinaadzabannar. Amiinnn.. selamat makan.” Iko memimpin do’a.
“Guys, minggu depan kampus dah libur. Arisan kita pun selsai hari ini. Kita libur 1 bulan. Gak ada kegiatan juga di kampus. Aku Cuma mikir, 1 bulan kita bakal ngapain? Jalan? Satu kota ini pun udah kita jajah dari ujung ke ujung. Bakalan boring nantinya.” Nurul berkicau tanpa spasi.
“Iya juga sih. Biar gak boring kita bikin acara apa gitu.” Alisaha ikut bicara.
“Kalau liburnya satu minggu sih gak apa-apa kita bikin acara. Jalan kemana gitu. Tapi ini satu bulan, Lis. Mending juga kita keluar kota. Keliling indonesia kalo perlu.”
“Aku setuju sama Juno. Sela Fedi. Kita kudu bikin rencana keluar. Gimana guys?”
“Aku juga setuju. Dan aku ada usul, kita ke Lombok, trus Malang, baru balik. Kita pake kapal aja, ntar baliknya baru pake pesawat.”
“Boleh tuh usulnya Fedi.” Ujar ku.
“Tapi, berapa lama semuanya itu?” April bertanya dengn ragu
“Total hampir 3 minggu.” Ujar Fedi sambil menghitung jarinya.
“Kalian yakin? Trus di sana kita sama siapa? Kita bakal ngapain aja? Kalau ntar ada apa-apa gimana?” Lagi Nurul berkicau tanpa spasi.
“Nurul cantik, di Lombok ada om ku, dan kita bakal nginap di sana. kita bakal ke gili trawanngan, pantai-pantainya Lombok, sama yang spesia kita bakal kaki gunung Rinjani. Terus, di Malang ada teman SMA kita dulu Wandi. Kita nebeng sama mereka. Kalau di sana aku belum yakin bakalan ke mana-mana aja. Yang jelas kita harus ke Bromo.”
“Kok, cuman kakinya aja Rinjani yang didatangi, sekalian mendaki dong.” Sekarang Nurul agak merengek
“Nurul cantik manis, gak segampang itu mau mendaki. Butuh persiapan, siapa mau tanggung jawab nanti kamu wafat di puncak Rinjani.” Goda Iko.
“Ih, Iko apa-apaan sih. Masa’ bicaranya kayak gitu.” Sela Alisha.
“Jadi kita berangkatnya kapan? Apa-apa yang musti disiapkan? Bawa pakean berapa banyak? Kalau makanan gimana? Kali ini Juno yang berkicau tanpa spasi.
Juno, kok malah ikut-ikutan Nurul kamu? Ujar Fedi sambil menyenggol lengan Juno.
“Iya ni Juno, kenapa juga mesti ikut gayanya Nurul.” Sahut ku.
“Aku serius guys, sorry kalau ku kecepatan bicaranya.” Juno membela diri.
“3 hari lagi ada jadwal kapal yang ke Lombok. Kalian siapkan pakaian secukupnya. Bawa satu saja jaket yang agak tebal. Jangan lupa obat pribadi. Persiapkan fisik. Karena perjalanan kita panjang dan tidak seenak naik pesawat. Jangan terlalu banyak barang yang dibawa, karena akan repot di kapal. Untuk urusan di sana selebihnya aku yang urus. Ok guys?” Fedi menjelaskan dengan serius.
“Oke..!!” Kami berlima serentak menjawab.
“Btw, kita belum kocok arisan lho”. April mengalihkan pembicaraan.
“Kan tinggak aku yang belum dapat. Otomatis aku dong kali ini yang naik arisannya. Yeyeyey..!!” aku bersorak seperti anak kecil.
“Hahahah,, dasar Dinda. Ambil tuh uang. Simpan buat beli oleh-oleh di Lombok sama Malang.” Ujar Fedi sambil mengelus kepala ku.
Gelak tawa aku dan keenam sahabat ku terdengar hingga matahari meninggi.
****
Pelabuhan
“Siap guys? Kita akan melakukan perjalanan yang mungkin paling panjang selama hidup kita sampai saat ini. Tapi ini mungkin bukan yang terhebat. Anggap aja ini sebagai pijakan pertama mimpi besar kita untuk keliling indonesia.” Dengan suara lantang, Fedi berpidato ala petinggi negara di depan kami.
“Semua lengkap? Nurul mana?” Iko mengambil alih pembicaraan
“Lagi di toilet.” Jawabku
“Oke. Guys, 10 menit lagi kita naik ke kapal. Aku Cuma mau mastiin barang kalian mampu kalian bawa sendiri dan tidak bikin repot nanti saat naik kapal, lagi di atas kapal atau pun saat turun kapal nanti. Ini bukan pesawat yang nyaman. Nanti pas naik kapal Iko sama Juno paling depan, terus cewek-ceweknya nyusul berurutan dibelakang, dan paling belakang aku. Gak ada yang boleh terpisah. Jun, pelan-plan ya bro! Liat-liat belakang juga ntar.”
“Oke bro!”
“Oke lanjut, nanti kita bakal berdesak-desakan sama penumpang lain. Dan kalian harus hati-hati sama buruh. Biasanya mereka asal nabrak aja. Kalian ngehindar aja. Oke! “
Kami pu mangguk, tanda mengikuti arahan Fedi.
“Tungguin aku dong..!!” dari jauh Nurul berteriak
“Sini cepetan!” Alisha membalas teriakan Nurul.
“Sekarang kita berdo’a bersama, semoga perjalanan kita tetap dilindungi Tuhan. Berdo’a dimulai.”
Sambil melingkar berpegangan tangan satu sama lain kami menundukkan kepala.
“Selesai. Kita berangkat. Semangat teman-teman..!!!” teriakan Juno cukup menarik perhatian calon penumpang lain di pelabuhan.
Kamipun menaiki kapal penumpang yang sangat besar menurutku. Seperti yang dijelaskan Fedi tadi, kami berdesak-desakan saat menaiki kapal. Buruh yang membawa barang penumpang seperti mobil yang tak memliki rem. Melaju dengan seenaknya, menabrak semua yang ada di depannya. Kami hanya mengikuti Juno yang berada paling depan. Berharap mendapat tempat yang nyaman. Perjalanan yang pengap menaiki makhluk besi raksasa itu berakhir di dek 4. Tepat di bawah sekoci.
“Guys, kalian di sini dulu. Aku sama Fedi mau cari tempat yang memungkinkan kita buat istirahat. Jun, jaga para ceweknya ya.!”
“Oke bro!” Juno memperlihatkan ibu jarinya.
20 menit kemudian Iko dan Fedi kemabali.
Dengan napas yang masih tersengal, Fedi berbicara.
“Selama dua hari satu malam kayaknya inilah rumah sementra kita.”
“Tapi inikan di terasnya kapal, ntar salah satu dari kita drop karena masuk angin gimana?” April menyela
“Tidak ada tempat lain, Pril. Kapal penuh. Bahkan masih benyak penumpang yang berdiri. Kita masih termasuk yan beruntung.”
“Berapa lama tadi kamu bilang di?” Alisha kembali bertanya.
“Dua hari satu malam. Kapal berangkat kira-kira setengah jam lagi. Artinya jam 10.00. dan kita sampai besok sangat sore di Pelabuhan Lembar.”
“OMG, semoga kita masih hidup pas turun di pelabuhan.”
“April, ngaco kamu. Makannya banyak berdo’a. Nikamati ajalah. Kapan lagi kita bisa terpapar angin laut selama 2 hari. Melihat laut lepas yang indah. Langit biru yang sangat luas. Batas bumi yang menakjubkan. Ini sempurna.” Aku mulai berpuitis.
“Bener tuh Dinda. Kita nikmatin aja. Nanti kalo mau ke toilet atau jalan-jalan disekitaran kapal, bakal ditemenin kok sama cowoknya. Kita gak usah makan makanan kapal. Semua kan bawa bekal, pastikan cukup untuk dua hari. Oke!” Fedi memang selalu berwibawa.
Selama 2 hari kami menghirup oksigen di atas samudra. Bau  khas laut menemani pelayaran kami. Terkadang aku berdiri di samping pagar kapal untuk melihat beberapa ikan terbang dan lumba-lumba yang menemani besi raksasa yang terapung ini melintasi lautan. Dan aku akan menjauh dari pagar kapal saat petugas kapal dengan pengeras suara mengingatkan penumpang untuk tidak berdiri di samping pagar kapal.
Yang paling sempurna saat kami menikmati sunset dan sunrise. Pengalaman terindahku menatap sunset dan sunrise ditengah samudra. Megah dan menkjubkan.
***
Bunyi peluit kapal membangunkan ku yang sedang pulas tertidur pulas di pundak Iko.
“Guys, semuanya siap-siap. Pastikan gak ada barang yang ketinggalan. Kita udah sampai di Pelabuhan Lembar. Seperti kemarin saat naik kapal, Juno sama Iko di depan dan aku paling belakang. Kali ini kita akan lebih berdesakan dibanding saat naik”. Fedi kembali menjelaskan.
“Apa gak sebaiknya tunggu lengang yang turun baru kita turun? Biar gak terlalu berdesak-desakan.” Iko memberi saran.
“Aku setuju sama Iko.” Gumanku.
“Aku juga, aku juga.” Yang lain ikut nimbrung.
“Gak masalah. Kita tunggu lengang dulu baru turun.”
“Di, kita bakal nginap di rumah om kamu kan selama di Lombok? Trus, kita di Lombok berapa lama? Siapa yang bakal jemput kita sekarang? Kita gak akan nyasar kan?” Lagi-lagi Nurul berkicau tanpa spasi
“Iya Nurul, kita bakal nginap di rumah om ku. Kita disini paling empat hari. Om ku udah ada di bawah, kita bakal naik mobil pick up om ku sebentar kalo ke rumahnya, kita gak bakal nyasar, karena om ku hafal semua jalan di Lombok. Jelas Nurul?”
“Iyaa..iyaa..” Nurul pasrah.
“Oke guys, sepertinya sudah lengang. Bersiap-siap untuk menginjak tanah Lombok.”
“Semangatt..!!!” semua berteriak seperti akan berperang.
Sesampai di Pelabuhan Lembar, kami disambut hangat oleh om nya Fedi. Ternyata rumah beliau tidak jauh dari pelabuhan.
Dan kami langsung di ajak ke rumah sederhana Om Ihsan. Kami pun beristirahat, karena planning berikutnya adalah Gili Trawangan.
***
“Semua siap?” Seperti biasa, Fedi selalu mengingatkan kami.
”Siap!” Serentak kami menjawab.
“Kalian semua tau kan, terget pertama kita. Gili Trawangan. Aku cuman pengen membuktikan keindahan Gili Trawangan.”
“Berangkat deh, ku dah penasaran banget. Ayokk,,.!!” aku menarik tangan Fedi.
“Eits,, berdoa’a dulu.” Fedi kembali menarik tangan ku.
Seperti biasa, kami berdiri melingkar dan tunduk untuk berdo’a.
Perjalanan dari rumah Om Ihsan masih kurang lebih 2 jam lagi menuju Pelabuhan Bangsal, yaitu pelabuhan untuk menyebrang ke gili-gili,  yaitu Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Perjalanan 2 jam tidak terasa membosankan karena sepanjang jalan menuju Pelabuhan Bangsal kami disuguhkan panorama pantai Senggigi dan Malibu yang begitu indah dan menakjubkan. Kami melintasi jalur ke arah Pantai Senggigi, memang sih lebih jauh daripada mengambil jalur ke Kota Mataram, namun pemandangan laut dari atas dan bukit di pesisir pantai sangat indah dan elok, sehingga perjalanan ke Pelabuhan Bangsal tidak terasa melelahkan.
Perjalanan 2 jam pun tidak terasa, aku dan keenam telah sampai di Pelabuhan Bangsal. Disana kami menitipkan motor-motor kami di tempat penitipan motor yang ada disana. Karena di Gili Trawangan bebas polusi kendaraan, alat transportasi yang ada hanya sepeda dan cidomo (sejenis dengan dokar).
Kami pun segera membeli tiket penyebrangan dengan menggunakan sejenis kapal nelayan dengan muatan maksimal 20 orang. Penyebrangan menuju Gili Trawangan hanya memakan waktu kurang dari 30 menit. Kami pun sampai di tepi pantai Gili Trawangan sekitar pukul 11 siang. Sungguh menakjubkan, kami pun sangat terkesima sekali telah sampai di Gili tersebut, pasir nya yang sangat putih, air laut yang jernih tanpa ombak, dan bebas dari polusi udara membuat suasana begitu nyaman tenang dan damai setelah menginjakan kaki di pulau ini. Kami pun segera mencari penginapan atau homestay yang murah di sepanjang pulau ini. Akhirnya kami memilih Polos homestay sebagai tempat tinggal kami selama di Gili Trawangan. Perjalanan yang sangat melelahkan meski demikian, kami memilih untuk langsung jalan-jalan di pulau ini. Rasa letih sirna begitu saja ketika melihat pemandangan pantai laut dan pasir putih yang begitu eksotis.
Kami pun lagsung menyewa sepeda yang ada di sepanjang jalan di Gili Trawangan dan langsung bersepeda mengitari pulau ini. Hanya menempuh waktu 45 menit kami sudah dapat mengitari penuh Gili Trawangan. Kami pun akan disuguhkan panorama bawah laut yang sangat indah saat bersnorkling, air nya yang jernih membuat kami dapat dengan jelas melihat kehidupan ekosistem bawah laut yang menakjubkan. Hal menakjubkan lain, kami beruntung melihat beberapa kura – kura dan ikan – ikan yang langka disana.
Tidak lengkap rasanya tanpa melihat sunset di Gili Trawangan. Disana terdapat tempat yang sangat nyaman dan bagus untuk melihat sunset, nama tempatnya adalah sunset point. kami akan disuguhkan pemandangan sunset yang indah dan karena cuaca sedang bersahabat kami dapat melihat Gunung Agung di Bali dari Sunset point tersebut.
Kami bertujuh merebahkan badan di atas pasir pantai. Sembari menunggu moment perpisahan dengan mentari senja.
“Rasanya ku gak pengen pulang. Di sini keren banget. Damai”. April membuka percakapan kami sore itu.
“Kamu emang gak salah pilih tempat, Di.” Guman Iko.
“Ini baru permulaan, masih ada yang lebih spesial menanti kita. Besok kita akan ke Rinjani.”
“Besok? Kita gak ada persiapan. Bukan hal sepele mendaki, Rinjani pula.” Sela ku.
“Siapa juga yang mau mendaki, sesuai rencana awal, kita cuman jalan-jalan ke sana, sekalian ceklok gitu. Gak usah tegang gitu kali, Din.” Iko pun mengambil alih.
“Guys, mumpung kita masih di sini, nikamti aja dulu sunset terakhirnya. Kita bisa bahas besok untuk ke Rinjani atau apapun itu.” Juno mengguman sembari menarik nafas panjang dan memejamkan mata.
***
“Pertanyaan ku mungkin yang kesekian kalinya. Smoga kalian tidak bosan aja. Siap? Ini memang buka perjalanan yang cukup ekstrim. Tidak ada tracking, tidak ada pendakian. Kita cuman akan, ya istilahnya survey lokasi lah. Mumpung kita di Lombok, gak ada salahnya kita lirik Rinjani. Gimana.?”
“Apanya yang gimana Di, omongan kamu terlalu berbelit.kita naik apa nih kesana? Kamu tau jalan emangnya? Om kamu gak ada lho. Kita bakal sama siapa kesana? Pertanyaan bertubi-tubi terlontar dari mulut Juno.”
“Santai dong Jun, kamu kenapa?” Gumam Nurul
“Iya udah, jangan bertengkar dong. Mobil sewaan udah parkir di luar. Kita berangkat sekarang yuk.” Iko melerai.
Akhirnya kami berangkat menuju Rinjani dengan suasana yang kurang mengenakan. Entah kenapa, Juno memang terlihat aneh sepulang dari Gili Trawangan. Ia lebih sinis kepada Fedi.
Perjalanan 2 jam menuju pos pengamatan gunung api Rinjani di sembalun tidak sehangat saat perjalanan menuju Gili Trawangan. Juno sibuk dengan headphonenya. Sementra Fedi dengan muka serius menatap kedepan. Hanya sesekali menyapa kami.
Aku, Nurul, April dan Alisha sibuk bertanya pada supir tentang apapun yang menarik perhatian kami saat perjalanan. Dan ternyata Iko malah tertidur.
Setiba di pos pengamatan, kami ngobrol banyak dengan petugasnya. Segala sesuatu pertanyaan terkait pendakian Rinjani dijawab sempurna oleh bapaknya. Mulai dari rute, persiapan, kondisi saat pendakian, semuanya. Tentu juga kami tidak melewatkan untuk mengamati Rinjani yang kokoh dari jauh. Mimpi baru ku mencapai 3726 MDPL. Suatu hari nanti.
Saat perjalanan kembali ke rumah Om Ihsan, masih terngiang dikepala ku kata-kata bapaknya tadi saat kami menanyakan tentang jalur pendakian.
”Untuk pendakiannya ada dua jalur, Jalur Sembalun menawarkan lanskap perbukitan yang sangat indah. Hamparan savana terbentang selama perjalanan. Akan kalian temukan hamparan edelweiss dengan kabut yang datang dan pergi. Treknya tidak terlalu curam, cocok untuk penikmat alam yang ingin bersantai menuju puncak. Yang perlu disiapkan adalah kondisi fisik dan perbekalan, karena waktu tempuhnya lebih lama dan panjang. Sementara itu, Jalur Senaru memberikan pengalaman yang berbeda. Treknya lebih curam, namun lebih pendek. Sebagai hadiah, kita bisa menikmati pemandangan maha indah dari puncak Senaru yaitu puncak Rinjani dan Gunung Baru Jari.”

***
Keesokan paginya setelah berpamitan dengan Om Ihsan, kami naik angkot menuju Pelabuhan Bertais. Kami akan meninggalkan Pulau Seribu Mesjid untuk melanjutkan petualangan ke tanah Jawa. Dari pelabuhan bertais naik bus menuju Terminal Arjoasri, Malang, Jawa Timur. Saat turun dar bus, kami langsung disambut hangat oleh Wandi, teman SMA Fedi yang kini kuliah di Malang. Dari terminal Arjosari, kami naik len (angkot) menuju kontrakan Wandi. Beruntung, teman kontrakan Wandi sedang pulang kampung di Kalimantan, jadi kami cukup leluasa untuk menumpang di kontrakan mungil tersebut. Perjalanan panjang dari Lombok terasa begitu melelahkan. Wajar jika muka-muka lelah sahabat-sahabatku mendorong mereka untuk langsung tepar. Tapi Juno tidak. Ia lebih memilih duduk di teras menatap manusia yang berlalu lalng di gang kecil depan kontarakan Wandi. Aku pun langsung menghampirinya.
“Jun.!”
“Ya.” Jawab Juno datar
“Kamu kenapa?”
“Kenapa? Apanya yang kenapa?”
“Kamu aneh semenjak kita balik dari Gili Trawangan. Kamu kemasukan apa di sana? salah makan apa di sana?”
“Gak ada yang aneh, Din, semuanya normal kok.”
“Gak, kamu aneh. Kenapa kamu lebih sinis sama Fedi. Kamu gak pernah kayak gini sebelumnya.”
“Apa? Apa kelihatanya aku sinis.? Perasaan mu saja kali, Din.”
“Jun, semenjak dari Rinjani kamu gak pernah bicara sama Fedi. Kamu ada masalah sama dia?”
“Udah deh, aku malas bahasnya.”
“Jun, ini tuh gak bener, gak bisa dibiarkan kalau memang kamu ada masalah. Persahabatan kita akan terasa ada yang mengganjal.”
“Persahabatan kita? Masih pantas kamu bilang Fedi sebagai sahabat?”
“Maksud kamu?”
“Tanya sendiri sama Fedi.”
“Jelasin sama aku sekarang. Juno, pliss.!
“Aku muak sama Fedi. Menganggap diri sebagi pemimpin dalam rombongan ini. Emangnya ada yang pernah milih dia buat mimpin. Mentang-mentang yang kita datangi adalah rumah om nya sam teman SMA nya.”
“Cuman karena itu kamu sinis sama Fedi. ? aku gak habis pikir sama kamu jun.”
“Aku yang gak habis pikir sama Fedi. Dia udah ngrusak persahabtan kita. Din.”
“Maksud kamu apaan sih?”
“Kamu gak pernah curiga ya, kenapa Fedi sama April keliahatan lebih dekat dibanding Fedi sama kamu atau Nurul, Alisha.”
“Kenapa emang? Gak ada yang aneh antara mereka berdua.”
“Ya ampun dinda. Buka mata kamu. Lihat mereka. Mereka pacaran. Dan mereka sudah backstreet dari kita.”
“Kamu tau dari mana?”
“Waktu di Gili Trawangan, aku gak sengaja  baca sms nya April buat Fedi. Aku penasaran, dan aku buka-buka hapenya Fedi. Dan aku kaget setengah mati.”
“Lalu apa maslahnya?” Tiba-tiba Fedi muncul
“Kamu tanya apa paslahnya? Fedi,,,Fedi. Kamu gak nyadar kalo apa yang sudah kamu sama April lakukan bisa merusak persahabatan kita. Ngerti.”
“Sejak kapan ada aturan yang melarang kita saling suka. Gak pernah”
“Gak perlu ada aturan tertulis atau pun lisan Fed. Dan kalian backstreet. Gila tau nggak.”
Mendengar perdebatan kami, Nurul April, Alisha dan Iko terbangun dan menghampiri kami.
“Ada apa ini?” Iko langsung bertanya
Tanpa menghiraukan Iko, Fedi kembali melanjutkan perdebatannya dngan  Juno.
“Juno..Juno.. aku tau kenapa kamu begitu gak suka mendengar hubungan ku sama April. Sebenarnya kamu suka sama Nurul kan? Terus kamu gak ngungkapin itu karena kamu pikir kapan kamu bilang kamu suka sama Nurul, persahabatan kita gak akan sehangat sebelumnya. Dan kamu takut kami menyalahkanmu seperti posisiku saat ini.”
“Gak usah ngalihin pembicaraan.”
“Udah deh jun, kamu jujur aja.”
“Apa-apaan kamu Fed. Juno pergi meninggalkan kami.
“Ini ada apa sih sebenarnya?” Iko kembali bertanya.
“Seperti yang kamu lihat tadi, Ko.” Jawab Fedi santai.
“Fedi pun akhirnya meninggalkan kami dan menyusul Juno.”
“Fed, tunggu.!” Iko pun menyusul Fedi.
“Kenapa jadi begini sih, kalo kayak gini situasinya, gak ada Bromo. Kita balik besok. Malas aku jadinya.” Keluh Alisha.
“Kita udah jauh-jauh kesini. Gak mungkin kita balik gitu aja.”
“Tapi pril, kamu lihat sendiri tadi kayak gimana atmosfirnya. Gak mungkin kita ke Bromo kalo kyak gini situasinya. Lagian ini juga gara-gara kamu sama Fedi.”
“Lho, kok jadi nyalahin aku. Semua bisa aku jelasin kok.”
“Udah dong, kenapa jadi kalian yang bertengkar lagi.” Nurul menyela.
“Sebaiknya kita cari solusi. Biar semua balik ke keadaan semula. Biar kita bisa ke Bromo, kita sahabatan dengan normal lagi. Dan kita bisa berpetualang seperti rencana sebelumnya.”
“Iya, aku setuju sama Nurul.” Gumanku.
“Jadi, apa sekarang? Kita bakal menyelesaikan dengan apa? Hm.??” Alisha melontarkan pertanyaan.
“Masalah kita cuman ada di Juno. Aku yakin kok Fedi sama Iko bisa menyelesaikan ini semua. Mending kita istrahat dulu. Besok kita akan ke Bromo, dan kita bakal bermalam di sana. kita butuh istirahat. Oke.!”
Alisha, Nurul dan April hanya mengangguk dan langsung masuk kamar
***
Besoknya kami siap berangkat menuju taman nasioanal Bromo tengger semeru. Lagi. Seperti biasa. Fedi selalu mengingatkan kami untuk bersiap siaga. Tapi justru aneh menurutku. Seprti tidak pernah terjadi pertengkaran antara ia dan Juno. Dan bahkan selama perjalanan menuju kawasan Bromo, Fedi nampal akran dengan Juno. Iko pun begitu. Ada yang aneh dari mereka bertiga menurutku. Akh, selebihnya tak ku hiraukan. Yang penting keadaan telah kembali normal. Selanjutnya tinggal menikmati perjalanan menuju Bromo. Hutan hujan tropis yang hijau entah apa nama pepohonanya. Kemudian kami melewati perkebunan yang sangat luas menurutku. Bau sawi dan kol yang siap panen begitu menusuk hidung ku. Jarak pandang pun memendek. Kabut ini seakan hendak mengiringi kami hingga tujuan. Udara semakin dingin menusuk. Alam semakin menantang.
Setelah 5 jam perjalanan dari kontrakan Wandi, akhirnya kami menginjakkan kaki di atas pasir Bromo. Tak membuang waktu, kami langsung bergegas menuju puncak Bromo. Berjalan mendaki sekitar 20 menit kemudian kami disuguhkan 120 anak tangga. Tak sabar rasanya menikmati megahnya terbenamnya mentari di puncak Bromo. Setelah perhelatan sunset kami kembali ke bawah dan membangun tenda. Malam ini tak ada rencana untuk tidur. Kami ingin meninkamti udara malam Bromo. Dan tentunya, memperjelas masalah Fedi dan Juno kemarin.
Kami pun berkumpul di depan api unggun.
“Jadi, gimana?” Aku membuka percakapan kami
“Apanya, Din?” Fedi kembali bertanya.
“Kok apanya lagi? Pertengkaran mu sama Juno kemarin, jangan pura-pura gak terjadi apa-apa deh.”
“Semua udah jelas kok.”
“Apanya yang jelas, Di?”
“Cuman salah paham.”
“Terus, kamu gak mau berbagi sama kita? Entar kita yang salah paham.”
“Iya, Dindaa, aku jelasin. Gini ya, aku sama April gak pernah pacaran. Apa pun yang dilihat Juno di hape ku, itu semua skenario. Aku sebenernya cuman penegn Juno terbuka sama kita. Dan dia bisa ngungkapin persaanya sama Nurul. Dan, semuanya kembali normal.”
“Jadi, Juno sama Nurul pacaran?”
“Gak pacaran juga kali. Juno cuman bilang dia suka sama Nurul. Selebihnya ya urusan mereka. Kita tunggu kabar aja. Intinya, gak ada istilah keterikatan apapun dalam persahabatn kita. Gak ada peraturan yang membelenggu. Semua kita jalani dengan normal. Kita suka sama sahabat sendiri itu bukan masalah, apalagi dibilang aib. Oke guys. Mari kita bersulang untuk persahabatan kita. Untuk petualangan kita. Cheersss...!!!”
“Cheersss...!!” kami pun serentak mengankat gelas yang berisi kopi hangat.
Kami pun ngobrol hingga tak terasa hampir pagi. Iko pun menyadarkan kami, bahwa kami harus kembali  naik ke puncak untuk melihat matahari terbit. Tak membuang waktu, langsung mendaki kembali untuk melihat matahari terbit di puncak Bromo. Di puncak Bromo, belerang terasa begitu menusuk dengan kabut yang masih sangat tebal. Kami pun berpegangan tangan menanti fajar. Dan detik-detik mengangumkan itu tiba. Aneh, justru jantungku berdegup begitu hebat. Dan, luar biasa. Sunrise terindah yang pernah kulihat. Bahkan tak sadar ku menitihkan air mata. Kami pun sejenak menikmati hangatnya fajar Bromo sebelum kembali ke tenda. Setelah puas, barulah kami bersiap kembali. Pulang.
***
Esoknya kami pamit kepada Wandi. Petulangan kami akhiri. Kami pun diantar Wandi ke stasiun Malang Kota Baru dan naik kereta api menuju Surabaya. Kali ini kami ingin mersakan pengalaman yang berbeda dengan naik kereta api. Pengalaman pertama juga sih naik kereta besi. Kapan lagi kalau bukan di tanah Jawa. Sesampai di Stasiun Surabaya Kota di Bongkaran, kami langsung menuju Bandara Juanda dan siap terbang kembali ke tanah asal membawa oleh-oleh pengalaman berharga yang akan terkenang dalam sejaran persahabatn kami.