Pelangi
itu indah karena ada tujuh warna yang beriringan bersama. Jika salah satunya
tak ada, maka warna-warna itu bukanlah pelangi. Hanya enam warna yang entah apa
namanya. Menurutku ia msih indah, hanya tak bernama. Ku bayangkan diriku dan
enam sahabat ku itu seperti pelangi. Pas, kami berjumlah tujuh orang dengan
sifat dan karakter yang tak sama. Persis pelangi. Rianda Alfmayra, nama yang
cantik pemberian orang tuaku 19 tahun silam. Tapi ke enam sahabat tengil ku
lebih suka memanggilku Dinda. Ngomong-ngomong,
aku belum memperkenalkan keenam sahabat tengilku. Pertama Iko, mahluk paling baik
hati yang pernah ku kenal. Aku yakin, jika telah menjad hakim atau jaksa kelak,
ia akan menjadi pembela kebenaran. Hehehe.
Selanjutnya Juno, si ganteng calon profesor. Dan cowok yang terakhir adalah Fedi,
yang menurutkan akan jadi menteri kesehatan RI nantinya karena jiwa leadernya yang luar biasa. Dan
berikutnya giliran para ladiesnya. Alisha,
Nurul, dan April. Tak ada sifat spesial yang menonjol dan unik dari kami kaum
hawa. Yang jelas kami punya kesamaan tunggal, penggila traveling tahap awal.
Meski belum dengan pengalaman sebanyak backpecker lainya, setidaknya provinsi
tempat kami sekarang berpijak telah kami jajahi mulai dari tempat wisata hingga
kulinernya. Dan tentu atas dampingan prajurit-prajurit yang setia, Fedi, Juno
dan Iko. Tak ada yang lebih bahagia rasanya saat berkumpul dengan mereka yang
menyayangi ku. Dan mereka itu adalah sahabat-sahabatku. Pelangi ku.
Seperti
biasa, awal bulan merupakan ritual wajib aku dan keenam sahabatku berkumpul.
Jangan heran kalau kami mengadakan arisan bulanan. Mungkin aneh bagi sebagian
orang karena jumlah kami yang sedikit. Hanya kami berenam, meski ada juga
arisan lain untuk teman-teman SMA. Taman belakang kampus adalah adalah target
kami kali ini. Suasana pagi yang segar, dengan pemandangan sungai kecil yang
mengalir pelan dan manusia-manusia yang berlalu lalang dengan sepeda maupung
berlari-lari kecil adalah konsep arisan bulanan kami kali ini. Karena ini
adalah pengocokan arisan yang terkahir, makannya suasananya berbeda dari
biasanya.
Tergesa-gesa
ku berjalan menuju tempat pertemuan kami. Matahari memang masih hangat. Tapi
belum ada siapa pun di tempat yang sebelumnya kami sepakati untuk kumpul.
Tiba-tiba seseorang berteriak memanggil nama ku.
“Dindaaaaaaaa........!!!,
di sini woeee.. di sebelah sini.. telat kamu. Cepetann...!!!”
Aghh,
suara cmpreng April seperti terhujam dari langit. Aku pun langsung berlari ke
arah mereka.
“Ganti
tempat kok gak bilang-bilang. Aku kan jadi kebingungan jadinya.” Ketus ku
“Soalnya
di sini lebih adem, Dinda sayang.” Lagi-lagi April. Sambil menarik tangan ku
untuk duduk di sebelahnya.
“Yang
bawa makanan siapa? Aku belum sarapan lho. Haus juga neh abis larian tadi.”
Fedi,
Juno, Iko, Alisha, Nurul dan April bersamaan menatap tajam kearahku.
“Hheee..??
kenapa pada bengong? Kalian kenapa? Ada yang aneh sama aku? Sambil ku periksa
pakaian ku.”
“Ahahahahahahahha..
Dinda, emang enak dikerjai. Gak napa-napa kok. Anak-anak lagi pengen iseng aja
ma kamu. Soalnya dari tadi kamu ditunggu, lama banget. Dah jam 7 neh, dah mulai
panas, makannya kita ganti tempat.” Juno meledek ku.
“Aishh..
gak lucu tau.”
“Ya,
udah kita mulai aja.” Fedi langsung mengambik alih pembicaraan.
“Kita
sarapan dulu dong. Sela Nurul. Lis, mana bekal nya tadi?”
“Ini
udah aku siapin semua.” Alisha meletakkan
roti dan selai di tengah-tengan kami berenam.
“Ya
udah, sekarang kita sarapan dulu, udah pada kelaparan kayaknya semua.
Bismillahrrahmanirrahi, allahumabariklana fiimarajqtana waqinaadzabannar.
Amiinnn.. selamat makan.” Iko memimpin do’a.
“Guys,
minggu depan kampus dah libur. Arisan kita pun selsai hari ini. Kita libur 1
bulan. Gak ada kegiatan juga di kampus. Aku Cuma mikir, 1 bulan kita bakal
ngapain? Jalan? Satu kota ini pun udah kita jajah dari ujung ke ujung. Bakalan
boring nantinya.” Nurul berkicau tanpa spasi.
“Iya
juga sih. Biar gak boring kita bikin acara apa gitu.” Alisaha ikut bicara.
“Kalau
liburnya satu minggu sih gak apa-apa kita bikin acara. Jalan kemana gitu. Tapi
ini satu bulan, Lis. Mending juga kita keluar kota. Keliling indonesia kalo
perlu.”
“Aku
setuju sama Juno. Sela Fedi. Kita kudu bikin rencana keluar. Gimana guys?”
“Aku
juga setuju. Dan aku ada usul, kita ke Lombok, trus Malang, baru balik. Kita
pake kapal aja, ntar baliknya baru pake pesawat.”
“Boleh
tuh usulnya Fedi.” Ujar ku.
“Tapi,
berapa lama semuanya itu?” April bertanya dengn ragu
“Total
hampir 3 minggu.” Ujar Fedi sambil menghitung jarinya.
“Kalian
yakin? Trus di sana kita sama siapa? Kita bakal ngapain aja? Kalau ntar ada
apa-apa gimana?” Lagi Nurul berkicau tanpa spasi.
“Nurul
cantik, di Lombok ada om ku, dan kita bakal nginap di sana. kita bakal ke gili
trawanngan, pantai-pantainya Lombok, sama yang spesia kita bakal kaki gunung Rinjani.
Terus, di Malang ada teman SMA kita dulu Wandi. Kita nebeng sama mereka. Kalau
di sana aku belum yakin bakalan ke mana-mana aja. Yang jelas kita harus ke Bromo.”
“Kok,
cuman kakinya aja Rinjani yang didatangi, sekalian mendaki dong.” Sekarang Nurul
agak merengek
“Nurul
cantik manis, gak segampang itu mau mendaki. Butuh persiapan, siapa mau
tanggung jawab nanti kamu wafat di puncak Rinjani.” Goda Iko.
“Ih,
Iko apa-apaan sih. Masa’ bicaranya kayak gitu.” Sela Alisha.
“Jadi
kita berangkatnya kapan? Apa-apa yang musti disiapkan? Bawa pakean berapa banyak?
Kalau makanan gimana? Kali ini Juno yang berkicau tanpa spasi.
Juno,
kok malah ikut-ikutan Nurul kamu? Ujar Fedi sambil menyenggol lengan Juno.
“Iya
ni Juno, kenapa juga mesti ikut gayanya Nurul.” Sahut ku.
“Aku
serius guys, sorry kalau ku kecepatan bicaranya.” Juno membela diri.
“3
hari lagi ada jadwal kapal yang ke Lombok. Kalian siapkan pakaian secukupnya.
Bawa satu saja jaket yang agak tebal. Jangan lupa obat pribadi. Persiapkan
fisik. Karena perjalanan kita panjang dan tidak seenak naik pesawat. Jangan
terlalu banyak barang yang dibawa, karena akan repot di kapal. Untuk urusan di
sana selebihnya aku yang urus. Ok guys?” Fedi menjelaskan dengan serius.
“Oke..!!”
Kami berlima serentak menjawab.
“Btw,
kita belum kocok arisan lho”. April mengalihkan pembicaraan.
“Kan
tinggak aku yang belum dapat. Otomatis aku dong kali ini yang naik arisannya.
Yeyeyey..!!” aku bersorak seperti anak kecil.
“Hahahah,,
dasar Dinda. Ambil tuh uang. Simpan buat beli oleh-oleh di Lombok sama Malang.”
Ujar Fedi sambil mengelus kepala ku.
Gelak
tawa aku dan keenam sahabat ku terdengar hingga matahari meninggi.
****
Pelabuhan
“Siap
guys? Kita akan melakukan perjalanan yang mungkin paling panjang selama hidup
kita sampai saat ini. Tapi ini mungkin bukan yang terhebat. Anggap aja ini
sebagai pijakan pertama mimpi besar kita untuk keliling indonesia.” Dengan
suara lantang, Fedi berpidato ala petinggi negara di depan kami.
“Semua
lengkap? Nurul mana?” Iko mengambil alih pembicaraan
“Lagi
di toilet.” Jawabku
“Oke.
Guys, 10 menit lagi kita naik ke kapal. Aku Cuma mau mastiin barang kalian
mampu kalian bawa sendiri dan tidak bikin repot nanti saat naik kapal, lagi di
atas kapal atau pun saat turun kapal nanti. Ini bukan pesawat yang nyaman.
Nanti pas naik kapal Iko sama Juno paling depan, terus cewek-ceweknya nyusul
berurutan dibelakang, dan paling belakang aku. Gak ada yang boleh terpisah.
Jun, pelan-plan ya bro! Liat-liat belakang juga ntar.”
“Oke
bro!”
“Oke
lanjut, nanti kita bakal berdesak-desakan sama penumpang lain. Dan kalian harus
hati-hati sama buruh. Biasanya mereka asal nabrak aja. Kalian ngehindar aja.
Oke! “
Kami
pu mangguk, tanda mengikuti arahan Fedi.
“Tungguin
aku dong..!!” dari jauh Nurul berteriak
“Sini
cepetan!” Alisha membalas teriakan Nurul.
“Sekarang
kita berdo’a bersama, semoga perjalanan kita tetap dilindungi Tuhan. Berdo’a
dimulai.”
Sambil
melingkar berpegangan tangan satu sama lain kami menundukkan kepala.
“Selesai.
Kita berangkat. Semangat teman-teman..!!!” teriakan Juno cukup menarik
perhatian calon penumpang lain di pelabuhan.
Kamipun
menaiki kapal penumpang yang sangat besar menurutku. Seperti yang dijelaskan Fedi
tadi, kami berdesak-desakan saat menaiki kapal. Buruh yang membawa barang
penumpang seperti mobil yang tak memliki rem. Melaju dengan seenaknya, menabrak
semua yang ada di depannya. Kami hanya mengikuti Juno yang berada paling depan.
Berharap mendapat tempat yang nyaman. Perjalanan yang pengap menaiki makhluk
besi raksasa itu berakhir di dek 4. Tepat di bawah sekoci.
“Guys,
kalian di sini dulu. Aku sama Fedi mau cari tempat yang memungkinkan kita buat
istirahat. Jun, jaga para ceweknya ya.!”
“Oke
bro!” Juno memperlihatkan ibu jarinya.
20
menit kemudian Iko dan Fedi kemabali.
Dengan
napas yang masih tersengal, Fedi berbicara.
“Selama
dua hari satu malam kayaknya inilah rumah sementra kita.”
“Tapi
inikan di terasnya kapal, ntar salah satu dari kita drop karena masuk angin
gimana?” April menyela
“Tidak
ada tempat lain, Pril. Kapal penuh. Bahkan masih benyak penumpang yang berdiri.
Kita masih termasuk yan beruntung.”
“Berapa
lama tadi kamu bilang di?” Alisha kembali bertanya.
“Dua
hari satu malam. Kapal berangkat kira-kira setengah jam lagi. Artinya jam
10.00. dan kita sampai besok sangat sore di Pelabuhan Lembar.”
“OMG,
semoga kita masih hidup pas turun di pelabuhan.”
“April,
ngaco kamu. Makannya banyak berdo’a. Nikamati ajalah. Kapan lagi kita bisa
terpapar angin laut selama 2 hari. Melihat laut lepas yang indah. Langit biru
yang sangat luas. Batas bumi yang menakjubkan. Ini sempurna.” Aku mulai
berpuitis.
“Bener
tuh Dinda. Kita nikmatin aja. Nanti kalo mau ke toilet atau jalan-jalan
disekitaran kapal, bakal ditemenin kok sama cowoknya. Kita gak usah makan
makanan kapal. Semua kan bawa bekal, pastikan cukup untuk dua hari. Oke!” Fedi
memang selalu berwibawa.
Selama
2 hari kami menghirup oksigen di atas samudra. Bau khas laut menemani pelayaran kami. Terkadang
aku berdiri di samping pagar kapal untuk melihat beberapa ikan terbang dan
lumba-lumba yang menemani besi raksasa yang terapung ini melintasi lautan. Dan
aku akan menjauh dari pagar kapal saat petugas kapal dengan pengeras suara
mengingatkan penumpang untuk tidak berdiri di samping pagar kapal.
Yang
paling sempurna saat kami menikmati sunset dan sunrise. Pengalaman terindahku
menatap sunset dan sunrise ditengah samudra. Megah dan menkjubkan.
***
Bunyi
peluit kapal membangunkan ku yang sedang pulas tertidur pulas di pundak Iko.
“Guys,
semuanya siap-siap. Pastikan gak ada barang yang ketinggalan. Kita udah sampai
di Pelabuhan Lembar. Seperti kemarin saat naik kapal, Juno sama Iko di depan
dan aku paling belakang. Kali ini kita akan lebih berdesakan dibanding saat
naik”. Fedi kembali menjelaskan.
“Apa
gak sebaiknya tunggu lengang yang turun baru kita turun? Biar gak terlalu
berdesak-desakan.” Iko memberi saran.
“Aku
setuju sama Iko.” Gumanku.
“Aku
juga, aku juga.” Yang lain ikut nimbrung.
“Gak
masalah. Kita tunggu lengang dulu baru turun.”
“Di,
kita bakal nginap di rumah om kamu kan selama di Lombok? Trus, kita di Lombok
berapa lama? Siapa yang bakal jemput kita sekarang? Kita gak akan nyasar kan?”
Lagi-lagi Nurul berkicau tanpa spasi
“Iya
Nurul, kita bakal nginap di rumah om ku. Kita disini paling empat hari. Om ku
udah ada di bawah, kita bakal naik mobil pick up om ku sebentar kalo ke
rumahnya, kita gak bakal nyasar, karena om ku hafal semua jalan di Lombok.
Jelas Nurul?”
“Iyaa..iyaa..”
Nurul pasrah.
“Oke
guys, sepertinya sudah lengang. Bersiap-siap untuk menginjak tanah Lombok.”
“Semangatt..!!!”
semua berteriak seperti akan berperang.
Sesampai
di Pelabuhan Lembar, kami disambut hangat oleh om nya Fedi. Ternyata rumah
beliau tidak jauh dari pelabuhan.
Dan
kami langsung di ajak ke rumah sederhana Om Ihsan. Kami pun beristirahat,
karena planning berikutnya adalah Gili Trawangan.
***
“Semua
siap?” Seperti biasa, Fedi selalu mengingatkan kami.
”Siap!”
Serentak kami menjawab.
“Kalian
semua tau kan, terget pertama kita. Gili Trawangan. Aku cuman pengen
membuktikan keindahan Gili Trawangan.”
“Berangkat
deh, ku dah penasaran banget. Ayokk,,.!!” aku menarik tangan Fedi.
“Eits,,
berdoa’a dulu.” Fedi kembali menarik tangan ku.
Seperti
biasa, kami berdiri melingkar dan tunduk untuk berdo’a.
Perjalanan dari rumah Om Ihsan
masih kurang lebih 2 jam lagi menuju Pelabuhan Bangsal, yaitu pelabuhan untuk
menyebrang ke gili-gili, yaitu Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air.
Perjalanan 2 jam tidak terasa membosankan karena sepanjang jalan menuju Pelabuhan
Bangsal kami disuguhkan panorama pantai Senggigi dan Malibu yang begitu indah
dan menakjubkan. Kami melintasi jalur ke arah Pantai Senggigi, memang sih lebih
jauh daripada mengambil jalur ke Kota Mataram, namun pemandangan laut dari atas
dan bukit di pesisir pantai sangat indah dan elok, sehingga perjalanan ke Pelabuhan
Bangsal tidak terasa melelahkan.
Perjalanan
2 jam pun tidak terasa, aku dan keenam telah sampai di Pelabuhan Bangsal.
Disana kami menitipkan motor-motor kami di tempat penitipan motor yang ada
disana. Karena di Gili Trawangan bebas polusi kendaraan, alat transportasi yang
ada hanya sepeda dan cidomo (sejenis dengan dokar).
Kami pun segera membeli tiket
penyebrangan dengan menggunakan sejenis kapal nelayan dengan muatan maksimal 20
orang. Penyebrangan menuju Gili Trawangan hanya memakan waktu kurang dari 30
menit. Kami pun sampai di tepi pantai Gili Trawangan sekitar pukul 11 siang.
Sungguh menakjubkan, kami pun sangat terkesima sekali telah sampai di Gili
tersebut, pasir nya yang sangat putih, air laut yang jernih tanpa ombak, dan
bebas dari polusi udara membuat suasana begitu nyaman tenang dan damai setelah
menginjakan kaki di pulau ini. Kami pun segera mencari penginapan atau homestay
yang murah di sepanjang pulau ini. Akhirnya kami memilih Polos homestay sebagai
tempat tinggal kami selama di Gili Trawangan. Perjalanan yang sangat melelahkan
meski demikian, kami memilih untuk langsung jalan-jalan di pulau ini. Rasa
letih sirna begitu saja ketika melihat pemandangan pantai laut dan pasir putih
yang begitu eksotis.
Kami pun lagsung menyewa sepeda
yang ada di sepanjang jalan di Gili Trawangan dan langsung bersepeda mengitari
pulau ini. Hanya menempuh waktu 45 menit kami sudah dapat mengitari penuh Gili
Trawangan. Kami pun akan disuguhkan panorama bawah laut yang sangat indah saat
bersnorkling, air nya yang jernih membuat kami dapat dengan jelas melihat
kehidupan ekosistem bawah laut yang menakjubkan. Hal menakjubkan lain, kami
beruntung melihat beberapa kura – kura dan ikan – ikan yang langka disana.
Tidak lengkap rasanya tanpa melihat
sunset di Gili Trawangan. Disana terdapat tempat yang sangat nyaman dan bagus
untuk melihat sunset, nama tempatnya adalah sunset point. kami akan disuguhkan
pemandangan sunset yang indah dan karena cuaca sedang bersahabat kami dapat
melihat Gunung Agung di Bali dari Sunset point tersebut.
Kami bertujuh merebahkan badan
di atas pasir pantai. Sembari menunggu moment perpisahan dengan mentari senja.
“Rasanya
ku gak pengen pulang. Di sini keren banget. Damai”. April membuka percakapan
kami sore itu.
“Kamu
emang gak salah pilih tempat, Di.” Guman Iko.
“Ini
baru permulaan, masih ada yang lebih spesial menanti kita. Besok kita akan ke Rinjani.”
“Besok?
Kita gak ada persiapan. Bukan hal sepele mendaki, Rinjani pula.” Sela ku.
“Siapa
juga yang mau mendaki, sesuai rencana awal, kita cuman jalan-jalan ke sana,
sekalian ceklok gitu. Gak usah tegang gitu kali, Din.” Iko pun mengambil alih.
“Guys,
mumpung kita masih di sini, nikamti aja dulu sunset terakhirnya. Kita bisa
bahas besok untuk ke Rinjani atau apapun itu.” Juno mengguman sembari menarik
nafas panjang dan memejamkan mata.
***
“Pertanyaan
ku mungkin yang kesekian kalinya. Smoga kalian tidak bosan aja. Siap? Ini
memang buka perjalanan yang cukup ekstrim. Tidak ada tracking, tidak ada
pendakian. Kita cuman akan, ya istilahnya survey lokasi lah. Mumpung kita di Lombok,
gak ada salahnya kita lirik Rinjani. Gimana.?”
“Apanya
yang gimana Di, omongan kamu terlalu berbelit.kita naik apa nih kesana? Kamu
tau jalan emangnya? Om kamu gak ada lho. Kita bakal sama siapa kesana?
Pertanyaan bertubi-tubi terlontar dari mulut Juno.”
“Santai
dong Jun, kamu kenapa?” Gumam Nurul
“Iya
udah, jangan bertengkar dong. Mobil sewaan udah parkir di luar. Kita berangkat
sekarang yuk.” Iko melerai.
Akhirnya
kami berangkat menuju Rinjani dengan suasana yang kurang mengenakan. Entah
kenapa, Juno memang terlihat aneh sepulang dari Gili Trawangan. Ia lebih sinis
kepada Fedi.
Perjalanan
2 jam menuju pos pengamatan gunung api Rinjani di sembalun tidak sehangat saat
perjalanan menuju Gili Trawangan. Juno sibuk dengan headphonenya. Sementra Fedi
dengan muka serius menatap kedepan. Hanya sesekali menyapa kami.
Aku,
Nurul, April dan Alisha sibuk bertanya pada supir tentang apapun yang menarik
perhatian kami saat perjalanan. Dan ternyata Iko malah tertidur.
Setiba
di pos pengamatan, kami ngobrol banyak dengan petugasnya. Segala sesuatu
pertanyaan terkait pendakian Rinjani dijawab sempurna oleh bapaknya. Mulai dari
rute, persiapan, kondisi saat pendakian, semuanya. Tentu juga kami tidak
melewatkan untuk mengamati Rinjani yang kokoh dari jauh. Mimpi baru ku mencapai
3726 MDPL. Suatu hari nanti.
Saat
perjalanan kembali ke rumah Om Ihsan, masih terngiang dikepala ku kata-kata
bapaknya tadi saat kami menanyakan tentang jalur pendakian.
”Untuk
pendakiannya ada dua jalur, Jalur Sembalun menawarkan lanskap perbukitan yang
sangat indah. Hamparan savana terbentang selama perjalanan. Akan kalian temukan hamparan
edelweiss dengan kabut yang datang dan pergi. Treknya tidak terlalu
curam, cocok untuk penikmat alam yang ingin bersantai menuju puncak. Yang perlu
disiapkan adalah kondisi fisik dan perbekalan, karena waktu tempuhnya lebih lama
dan panjang.
Sementara itu, Jalur Senaru memberikan pengalaman yang berbeda.
Treknya lebih curam, namun lebih pendek. Sebagai hadiah, kita bisa menikmati
pemandangan maha indah dari puncak Senaru yaitu puncak Rinjani dan Gunung Baru
Jari.”
***
Keesokan
paginya setelah berpamitan dengan Om Ihsan, kami naik angkot menuju Pelabuhan
Bertais. Kami akan meninggalkan Pulau Seribu Mesjid untuk melanjutkan
petualangan ke tanah Jawa. Dari pelabuhan bertais naik bus menuju Terminal
Arjoasri, Malang, Jawa Timur. Saat turun dar bus, kami langsung disambut hangat
oleh Wandi, teman SMA Fedi yang kini kuliah di Malang. Dari terminal Arjosari,
kami naik len (angkot) menuju kontrakan Wandi. Beruntung, teman kontrakan Wandi
sedang pulang kampung di Kalimantan, jadi kami cukup leluasa untuk menumpang di
kontrakan mungil tersebut. Perjalanan panjang dari Lombok terasa begitu
melelahkan. Wajar jika muka-muka lelah sahabat-sahabatku mendorong mereka untuk
langsung tepar. Tapi Juno tidak. Ia lebih memilih duduk di teras menatap
manusia yang berlalu lalng di gang kecil depan kontarakan Wandi. Aku pun
langsung menghampirinya.
“Jun.!”
“Ya.”
Jawab Juno datar
“Kamu
kenapa?”
“Kenapa?
Apanya yang kenapa?”
“Kamu
aneh semenjak kita balik dari Gili Trawangan. Kamu kemasukan apa di sana? salah
makan apa di sana?”
“Gak
ada yang aneh, Din, semuanya normal kok.”
“Gak,
kamu aneh. Kenapa kamu lebih sinis sama Fedi. Kamu gak pernah kayak gini
sebelumnya.”
“Apa?
Apa kelihatanya aku sinis.? Perasaan mu saja kali, Din.”
“Jun,
semenjak dari Rinjani kamu gak pernah bicara sama Fedi. Kamu ada masalah sama
dia?”
“Udah
deh, aku malas bahasnya.”
“Jun,
ini tuh gak bener, gak bisa dibiarkan kalau memang kamu ada masalah.
Persahabatan kita akan terasa ada yang mengganjal.”
“Persahabatan
kita? Masih pantas kamu bilang Fedi sebagai sahabat?”
“Maksud
kamu?”
“Tanya
sendiri sama Fedi.”
“Jelasin
sama aku sekarang. Juno, pliss.!
“Aku
muak sama Fedi. Menganggap diri sebagi pemimpin dalam rombongan ini. Emangnya
ada yang pernah milih dia buat mimpin. Mentang-mentang yang kita datangi adalah
rumah om nya sam teman SMA nya.”
“Cuman
karena itu kamu sinis sama Fedi. ? aku gak habis pikir sama kamu jun.”
“Aku
yang gak habis pikir sama Fedi. Dia udah ngrusak persahabtan kita. Din.”
“Maksud
kamu apaan sih?”
“Kamu
gak pernah curiga ya, kenapa Fedi sama April keliahatan lebih dekat dibanding Fedi
sama kamu atau Nurul, Alisha.”
“Kenapa
emang? Gak ada yang aneh antara mereka berdua.”
“Ya
ampun dinda. Buka mata kamu. Lihat mereka. Mereka pacaran. Dan mereka sudah backstreet dari kita.”
“Kamu
tau dari mana?”
“Waktu
di Gili Trawangan, aku gak sengaja baca
sms nya April buat Fedi. Aku penasaran, dan aku buka-buka hapenya Fedi. Dan aku
kaget setengah mati.”
“Lalu
apa maslahnya?” Tiba-tiba Fedi muncul
“Kamu
tanya apa paslahnya? Fedi,,,Fedi. Kamu gak nyadar kalo apa yang sudah kamu sama
April lakukan bisa merusak persahabatan kita. Ngerti.”
“Sejak
kapan ada aturan yang melarang kita saling suka. Gak pernah”
“Gak
perlu ada aturan tertulis atau pun lisan Fed. Dan kalian backstreet. Gila tau
nggak.”
Mendengar
perdebatan kami, Nurul April, Alisha dan Iko terbangun dan menghampiri kami.
“Ada
apa ini?” Iko langsung bertanya
Tanpa
menghiraukan Iko, Fedi kembali melanjutkan perdebatannya dngan Juno.
“Juno..Juno..
aku tau kenapa kamu begitu gak suka mendengar hubungan ku sama April.
Sebenarnya kamu suka sama Nurul kan? Terus kamu gak ngungkapin itu karena kamu
pikir kapan kamu bilang kamu suka sama Nurul, persahabatan kita gak akan
sehangat sebelumnya. Dan kamu takut kami menyalahkanmu seperti posisiku saat
ini.”
“Gak
usah ngalihin pembicaraan.”
“Udah
deh jun, kamu jujur aja.”
“Apa-apaan
kamu Fed. Juno pergi meninggalkan kami.
“Ini
ada apa sih sebenarnya?” Iko kembali bertanya.
“Seperti
yang kamu lihat tadi, Ko.” Jawab Fedi santai.
“Fedi
pun akhirnya meninggalkan kami dan menyusul Juno.”
“Fed,
tunggu.!” Iko pun menyusul Fedi.
“Kenapa
jadi begini sih, kalo kayak gini situasinya, gak ada Bromo. Kita balik besok.
Malas aku jadinya.” Keluh Alisha.
“Kita
udah jauh-jauh kesini. Gak mungkin kita balik gitu aja.”
“Tapi
pril, kamu lihat sendiri tadi kayak gimana atmosfirnya. Gak mungkin kita ke Bromo
kalo kyak gini situasinya. Lagian ini juga gara-gara kamu sama Fedi.”
“Lho,
kok jadi nyalahin aku. Semua bisa aku jelasin kok.”
“Udah
dong, kenapa jadi kalian yang bertengkar lagi.” Nurul menyela.
“Sebaiknya
kita cari solusi. Biar semua balik ke keadaan semula. Biar kita bisa ke Bromo,
kita sahabatan dengan normal lagi. Dan kita bisa berpetualang seperti rencana
sebelumnya.”
“Iya,
aku setuju sama Nurul.” Gumanku.
“Jadi,
apa sekarang? Kita bakal menyelesaikan dengan apa? Hm.??” Alisha melontarkan
pertanyaan.
“Masalah
kita cuman ada di Juno. Aku yakin kok Fedi sama Iko bisa menyelesaikan ini
semua. Mending kita istrahat dulu. Besok kita akan ke Bromo, dan kita bakal
bermalam di sana. kita butuh istirahat. Oke.!”
Alisha,
Nurul dan April hanya mengangguk dan langsung masuk kamar
***
Besoknya
kami siap berangkat menuju taman nasioanal Bromo tengger semeru. Lagi. Seperti
biasa. Fedi selalu mengingatkan kami untuk bersiap siaga. Tapi justru aneh
menurutku. Seprti tidak pernah terjadi pertengkaran antara ia dan Juno. Dan
bahkan selama perjalanan menuju kawasan Bromo, Fedi nampal akran dengan Juno. Iko
pun begitu. Ada yang aneh dari mereka bertiga menurutku. Akh, selebihnya tak ku
hiraukan. Yang penting keadaan telah kembali normal. Selanjutnya tinggal
menikmati perjalanan menuju Bromo. Hutan hujan tropis yang hijau entah apa nama
pepohonanya. Kemudian kami melewati perkebunan yang sangat luas menurutku. Bau
sawi dan kol yang siap panen begitu menusuk hidung ku. Jarak pandang pun
memendek. Kabut ini seakan hendak mengiringi kami hingga tujuan. Udara semakin
dingin menusuk. Alam semakin menantang.
Setelah
5 jam perjalanan dari kontrakan Wandi, akhirnya kami menginjakkan kaki di atas
pasir Bromo. Tak membuang waktu, kami langsung bergegas menuju puncak Bromo.
Berjalan mendaki sekitar 20 menit kemudian kami disuguhkan 120 anak tangga. Tak
sabar rasanya menikmati megahnya terbenamnya mentari di puncak Bromo. Setelah
perhelatan sunset kami kembali ke bawah dan membangun tenda. Malam ini tak ada
rencana untuk tidur. Kami ingin meninkamti udara malam Bromo. Dan tentunya,
memperjelas masalah Fedi dan Juno kemarin.
Kami
pun berkumpul di depan api unggun.
“Jadi,
gimana?” Aku membuka percakapan kami
“Apanya,
Din?” Fedi kembali bertanya.
“Kok
apanya lagi? Pertengkaran mu sama Juno kemarin, jangan pura-pura gak terjadi
apa-apa deh.”
“Semua
udah jelas kok.”
“Apanya
yang jelas, Di?”
“Cuman
salah paham.”
“Terus,
kamu gak mau berbagi sama kita? Entar kita yang salah paham.”
“Iya,
Dindaa, aku jelasin. Gini ya, aku sama April gak pernah pacaran. Apa pun yang
dilihat Juno di hape ku, itu semua skenario. Aku sebenernya cuman penegn Juno
terbuka sama kita. Dan dia bisa ngungkapin persaanya sama Nurul. Dan, semuanya
kembali normal.”
“Jadi,
Juno sama Nurul pacaran?”
“Gak
pacaran juga kali. Juno cuman bilang dia suka sama Nurul. Selebihnya ya urusan
mereka. Kita tunggu kabar aja. Intinya, gak ada istilah keterikatan apapun
dalam persahabatn kita. Gak ada peraturan yang membelenggu. Semua kita jalani
dengan normal. Kita suka sama sahabat sendiri itu bukan masalah, apalagi
dibilang aib. Oke guys. Mari kita bersulang untuk persahabatan kita. Untuk
petualangan kita. Cheersss...!!!”
“Cheersss...!!”
kami pun serentak mengankat gelas yang berisi kopi hangat.
Kami
pun ngobrol hingga tak terasa hampir pagi. Iko pun menyadarkan kami, bahwa kami
harus kembali naik ke puncak untuk
melihat matahari terbit. Tak membuang waktu, langsung mendaki kembali untuk
melihat matahari terbit di puncak Bromo. Di puncak Bromo, belerang terasa
begitu menusuk dengan kabut yang masih sangat tebal. Kami pun berpegangan
tangan menanti fajar. Dan detik-detik mengangumkan itu tiba. Aneh, justru
jantungku berdegup begitu hebat. Dan, luar biasa. Sunrise terindah yang pernah
kulihat. Bahkan tak sadar ku menitihkan air mata. Kami pun sejenak menikmati
hangatnya fajar Bromo sebelum kembali ke tenda. Setelah puas, barulah kami
bersiap kembali. Pulang.
***
Esoknya
kami pamit kepada Wandi. Petulangan kami akhiri. Kami pun diantar Wandi ke
stasiun Malang Kota Baru dan naik kereta api menuju Surabaya. Kali ini kami
ingin mersakan pengalaman yang berbeda dengan naik kereta api. Pengalaman
pertama juga sih naik kereta besi. Kapan lagi kalau bukan di tanah Jawa.
Sesampai di Stasiun Surabaya Kota di Bongkaran, kami langsung menuju Bandara
Juanda dan siap terbang kembali ke tanah asal membawa oleh-oleh pengalaman
berharga yang akan terkenang dalam sejaran persahabatn kami.