Kamis, 28 Februari 2013

next cerpen..




Pelangi di Ujung Malam

By: Fatimah Ulfah

Galau. Kamu galau biasa karena apa? Diputusin pacar? Nilai kamu anjlok? Atau kiriman uang kamu yang telat? Masalah yang biasa. Tapi akan luar biasa kalau semuanya meninpa kamu. Kayak aku sekarang. kemarin ini tepatnya. Masalah bertubi-tubi nyerang aku. Yang tak pernah ku duga akan terjadi.
Nama aku Nuri. Aku mahasiswa semester akhir yang rencananya besok mau seminar skripsi. Aku yatim piatu. Tiap jenjang pendidikan, aku pindah-pindah. Tergantung kerabat aku yang mana yang mau nampung aku. Aku SD di Bandung, SMP di Semarang, SMA di Surabaya dan kini aku kuliah di Jakarta. Kini aku menumpang di rumah tanteku. Etss,, jangan salah, aku kuliah pakai biaya sendiri. Di sela perkuliahan aku kerja serabutan. Mulai dari loper koran, kerja di tempat fotokopian kampus, malahan aku bisa sambilan jadi SPG. Apapun itu aku lakukan yang penting kuliah aku bisa selesai.
Semalaman aku gak tidur. Semua berkecamuk di kepala. Semua masalah yang terjadi kemarin. Satu pertanyaan yang kini berputar di otak aku. Apa rencana tuhan kali ini. Kenapa harus kemarin aku masti ngerasain dunia yang kiamat. Tidak kah satu persatu saja masalah itu datang. Kenapa mesti semuanya langsung terjadi kemarin. Apakah aku begitu kuat di mata-Nya. Apa aku begitu tegar. Apa bisa hari ini terlewatkan dengan indah. Apa bisa besok aku sukses di seminar skripsi. Perasaan ini, rasanya ingin kabur ke tempat asing. Gak ada yang kenal sama aku. Atau ke pulau yang tak berpenghuni. Cuman ada aku dan semua gelisah yang tak berujung ini. Aishh... akhirnya aku cuman bisa berpikir ngelantur gak jelas. Udah gak kehitung berapa banyak air mata aku hari ini. Ya, sampai sakit kepala  dan dah gak bisa lagi aku nangis. Mungkin habis. Entahlah. Semua bermula karena hubunngan aku yang gak sehat. Hubungan aku sama mereka yang katanya sahabat aku. Dan beberapa orang terdekatku.
Winda, Aliya dam Mira. Sahabat-sahabat yang aku kenal waktu ospek mahasiswa baru di kampus. Awalnya kami bertiga sama-sama menerima hukuman dari senior kami karena melanggar aturan ospek. Hukuman yang sudah menjadi tradisi dari senior kami. Di suruh kesana kemari gak jelas. Disuruh begini lah, begitu lah dan semuanya tak pernah benar di mata senior. Ya, senior yang selalu benar. Hukuman penutup, kami disuruh mengumpulkan katak di danau kampus. Dari situ lah keakraban diantara kami mulai terjalin, aku sendiri senang tak terkira. Awalnya aku minder karena mungkin aku gak bakalan dapat teman dengan mudah di kampus ini dengan keadaan aku yang kayak gini. Tapi aku lihat ketulusan Winda, Aliya dam Mira, pada saat itu aku yakin kami bakalan saling berbagi suka dan duka sebagai sahabat nantinya.
Winda, si anak bungsu dari keluarga yang cukup terpandang. Lahir dan besar di kota kembang, Bandung. Biar anak bungsu, tapi kehidupan winda seperti anak tunggal, perlakuan orang tuanya sangat spesial untuk Winda. Sebenarnya aku masti nyimpen tanda tanya besar untuk hal yang satu itu. Winda sebenarnya punya dua kakak, tapi salah satunya meninggal karena sakit waktu masih balita. Entahlah, apapun penyalit kakanya Winda aku gak pernah nanya. Karena winda juga kayaknya tidak terlalu terterik membahas hal itu. Winda yang manja dan selalu bertingkah semaunya memang yang plaing cantik dan kaya diantara kami berempat. Ya, kami harus punya kesabaran ekstra untuk menghadapi sahabat kami yang satu ini. Terlebih aku yang memang paling dekat dengan Winda dibandingkan Aliya ataupun Mira. Dibalik sifat manjanya yang luar biasa, Winda adalah orang pertama yang selalu dimntai solusi jika kami bertiga punya masalah.
Aliya, mahluk yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Perfectionist. Kadang ku bertanya sendiri dalam hati, apa iya sahabatku yang satu ini mahluk bumi. Saking ia menuntut kesempurnaan, justru kerepotan di sana sini yang terjadi. Jika Winda adalah anak bungsu yang merangkap status anak tunggal dengan segala kemanjaannya, maka aliya adalah anak sulung yang suka mengatur dengan segala otoritas yang ia bangun sejak memakai seragam sekolah. Aliya, si profesor yang kutu buku. Aku jadi teringat salah satu sinetron. Si peran utama yang bertemankan kutu buku culun, dandanan khas dengan kaca mata tebal, gaya yang kampungan dan kata-kata lain yang masih sebangsanya. Tapi aliya bukanlah “kutu buku” nya sinetron. Bahkan aliya tak berkaca mata. Aliya adalah kutu buku yang manis, stylish, populer, dan yang pasti memiliki kepintaran di atas kami bertiga. Sayangnya, kami berempat tidak satu jurusan. Kejeniusan aliya tidak banyak membantu untuk tugas kuliah ku, Winda ataupun Mira.
Dan sahabat ku yang terakhir adalah Mira. Bagiku dia misterius. Tak banyak bicara dan penurut. Segudang rahasia ia sembunyikan dari kami sahabatnya. Padahal hampir empat tahun kami bersama. Tak banyak hal yang yang ku tau tentang mira. Hanya beberapa kali ia mengajak kami ke rumahnya. Rumah yang mewah dan sepi, tak pernah sekalipun ku lihat orang tuanya saat ke rumahnya. Hanya mbok Mirna, pemabantu yang sudah 10 tahun katanya bekerja disitu, pak Soleh, tukang kebun yang juga suami Mbok Mirna dan seorang supir pribadi yang akrab kami panggil Bang Adi. Mira berubah pendiam sejak tahun ke-2 kuliah. Saat itu tersebar desas-desus bisnis papanya bangkrut. Rumahnya disita bank dan mereka harus pindah ke kontrakan. Tapi, beberapa bulan setelah itu keadaan kembali seperti ia dan keluarganya tidak mengalami kebangkrutan. Ia kembali ke umah mewahnya. Yang berubah hanya orang tuanya yang semakin sibuk. Bahkan satu kalipun aku belum pernah melihat langsung wajah orang tuanya baik sebelum ataupun setelah isu keluarganya yang bangkrut. Begitu juga dengan saudaranya yang lain. Setauku dia anak ke-2 dari empat bersaudara. Entahlah kami berempat memang jarang membahas tentang keluarga masing-masing.
Masih ada dua orang yang mengacau di hari sial ku kemarin. Rina, anak semata wayang tanteku. Ilham, sahabat kecilku sewaktu aku sekolah di surabaya. Aku dan ilham sangat dekat. Lebih dekat dari sahabat pada umumnya. Persahabatan yang salah menurut ku, dan akhirnya ilham menyalahartikan perasaannya. Dia menyukaiku, menyayangiku, mencintaiku lebih dari sahabat, katanya. Ku hanya tersenyum saat membaca sms nya pada saat itu. Bagiku, Ilham adalah sahabat, jikapun lebih, dia adalah saudaraku.
Kemarin
Rumah aliya.
“Guys, gue ada film baru neh. Nonton yuk! Pakai leptopnya Nuri aja ya.” Winda langsung merebahkan dirinya di kasur sambil mengeluarkan VCD yang baru ia beli.
Gue nolak, Win. Gue musti pulang. Lagian gue belum selesain presentasi gue buat seminar lusa.
Kok lu gitu Ri, Winda jauh-jauh ke sini bawain kita film. Lu kan tau kan, nyokapnya winda jarang kasi ijin Winda buat keluar. Aliya duduk di depanku dan memasang muka mengancam.
Lusa gue seminar. Presentasi gue blum selesai, dan masih banyak yang mesti gue siapin. Besok gue bakalan sibuk di rumah, tante gue bakalan ada tamu penting yang datang Kalian bantuin gue gitu buat persiapan seminar. Waktu gue cuman hari ini.
Pokoknya gue gak mau tau. Sekarang kita nonton. Ri, buka leptop lu. Trus entar malam gue mesti beliin tas buat nyokap gue. Berhubung Aliya ntar malam ada jadwal tenteran, dan Mira harus ke luar kota, jadi gak ada pilihan lain. Nuri, lu mesti temenin gue. Nada suara Winda semakin meniggi sambil menunjuk aku.
"Sori, Win. Gue juga gak bisa nemenin lu"
"Kenapa?"
"Gue mau persiapan buat seminar."
"Kan bisa besok."
"Ada acara di rumah tante gue, berapa kali sih gue mesti bilang."
"Lu bisa bileng sama tante lu kalau besok lu gak bisa bantu, soalnya lu mau persiapan buat seminar. Gampangkan. Jadi ntar malam lu bisa nemenin gue."
"Apa gue mesti kayak gitu?"
"Iya dong. Menurut gue tante lu pasti ngijinin."
"Sejenak ku menghela napas."
"Win, lama-lama gue capek hadapin lu, Aliya dan Mira. Gue tau, gue yang paling bobrok disini. Gue bukan orang kaya kayak kalian, gue juga gak punya keluarga kayak kalian. Tapi bukan berarti gue boneka lu. Gue cuman punya tente gue sekarang. Gue numpang di rumahnya. Lu mungkin gak bisa ngerti posisi orang yang numpang di rumah orang kayak gimana, karena lu gak pernah numpang. Lu punya segalanya. Win, gue bukan nyokap lu yang mesti ada saat lu mau ini mau itu. Gue bukan nyokap lu yang mesti mantau lu 24 jam. Gue juga bukan bokap lu yang mesti ngantarin lu kemana pun lu mau. Gue bukan jongos lu atau pun Aliya."
"Maksud lu apaan sih?" Sela aliya
Al, gue belum selesai. Teman, selama ini gue cuman mendam rasa gak enak selama gue jalan ma kalian. Gue kayak orang suruh-suruh lu Win. Gue tau lu manja, gue bisa tolerir kemanjaan lu selama ini. Tapi kali ini lu keterlaluan.
Al, gue juga bukan asisten lu. Oke Al, lu pintar, jenius dan sibuk. Gue emang banyak banget minta bantuan lu dalam urusan akademik, tapi bukan berarti gue jadi pesuruh lu dan harus bermandikan kertas dan buku-buku lu. Berhenti perlakuin gue kayak boneka.
"Teman, gue bisa nemenin kalian di saat-saat gue emang bisa nemenin kalian, gak selalu. Gue juga punya urusan, gue punya kerjaan. Lu semua tau, hampir tiap hari gue ditegur sama tante gue karena telat pulang, kerjaan di rumah jadi gak beres. Gue telat karena gue nenmenin kalian. Oke, gue juga nikmatin kebersamaan kita, tapi pernah gak kalian mikirin keadaan gue? Gak pernah. Pulang kerja gue mesti ke sini baru pulang ke rumah. Gue ngehargain lu semua. Gue tau kalian pasti akan masang muka masam kalau satu kali aja gue gak gabung. Kalian gak pernah mikir kalau gue capek abis kuliah, gue mesti ke tempat kerja, trus gue ngumpul ma lu semua, dan sampai di rumah gue telat, tante gue marah dan gue msti bergadang lagi buat keja tugas kuliah dan pekerjaan rumah."
Gak sadar air mata ku mengalir. Ku lihat hanya mira yang berkaca-kaca. Aliya terdiam dan sepertinya.
"Lu gak pernah bilang, Ri. Lu gak pernah kasi tau kita. Winda mengguncang tubuhku dan bersuara dengan nada tingi."
"Karena lu semua gak pernah perduli. Kalian hanya perduli dengan keinginan kalian masing-masing.  Sebagai sahabat kalian gak peka."
"Terserah lu Ri. Winda beranjak dan mengambil tas nya."
"Gue juga balik. Mira pun menyusul."
Aliya diam.
Aku pun pulang tanpa berkata apa-apa.
Rumah tante ku
Baru memasuki halaman, tangan ku sudah gemetaran. Keringat dingin ku bercucuran. “Asli kiamat”, gumanku dalam hati. Ku lihat dua koper yang ku bawa 4 tahun lalu tergeletak di depan pintu. Apa aku di usir? Langsung ku gedor pintu rumah dan berteriak memanggil tanteku. Dari dalam ku mendengar suara tanteku dan rina.
Semua barang mu sudah ada di dalam koper itu. Tak ada yang ketinggalan. Kamu punya tabungan kan. Tante lagi gak ada uang. Jadi gunakan uang mu sendiri.
Seperti disambar petir ku rasa. Tuhan, ini bukan sinetron kan. Apa yang ku alami benar-benar di luar dugaan ku.
Pasti Rina, dia memang tidak pernah suka semenjak aku tinggal di rumahya. Entah bualan apa yang ia katakan kepada mamanya sehingga aku di usir. Pengganggu kecil itu memang selalu membenciku.
Aku hanya bisa menangis.
Tak apa, semua akan baik-baik saja.
Ku hanya bisa menghibur diri ku sendiri.
Bingung, ke mana akan ku pergi. Aliya dan Winda tak mungkin menerima ku setelah kejadia tadi. Hanya Mira yang ku harapkan saat ini.
Rumah mira
Mira kaget saat melihatku berdiri di depan pintu rumahnya setelah ia membuka pintu.
Kok lu di sini, ri? Ngapain malam-malam gini? Koper lu kok?
Gubrak.
Tubuh ku membentur tanah. Gelap.
Kamar mira
Kepala ku terasa sakit. Bau minyak kayu putih yang begitu menyengat mengalahkan bau pengahrum ruangan. Samar ku lihat di sekeliling ku. “Kamarnya Mira?” gumanku dalam hati. Samar terdengar suara beberapa orang yang ngobrol di depan kamar. Kata per kata ku tangkat, kalimat per kalimat ku dengar. Untuk meyakinkan yang ku dengar, ku beranikan diri keluar kamar. Dan, sekali lagi seperti tersambar petir ku rasa.
"Mira...!!"
"Nuri..?? Ri, gue bisa jelasin.!"
-----------
Malam tiba. Ya, malam ini gue duduk di halam belakang rumah mira. Tadinya bersama mira. Sekarang aku menikmati langit yang bersih dari awan, langit yang dipenuhi bintang. Sendirian. Kembali ku ingat pengakuan mira kemarin di depan kamarnya. Mira yang berubah jadi pendiam memang telah berubah. Bukan mira yang dulu kaya. Ya, dia memang kembali ke rumahnya yang dulu pernah disita oleh bank. Bukan sebagai pemilik. Tapi sebagai pembantu. Keluarga pembantu. Mbok Mirna dan Pak Soleh adalah orang tuanya, dan Bang Adi yang biasa mengantarnya kuliah adalah abangnya. Meski awalnya mira sulit menerima keadaannya, tapi sepertinya ia mulai paham bahwa yang ia lakukan selama ini salah.
“gue gak pengen kalian ninggalin gue karena keadaan gue.”
Ku ingat perkataan Mira sambil terisak dalam pelukan ku. Mira salah. Aku, Winda ataupun Aliya tak meninggalkannya.
Memori ku pun kembali pada beberapa saat setelah aku di usir tanteku. Di perjalanan menuju rumah mira, aku mendapa telepon yang mungkin tak akan ku lupakan. Pertama, ilham menelponku. Tapi bukan dia yang berbicara. Suara wanita dengan nada tinggi yang mengancam dan menghardik ku. Pacarnya ilham. Akhirnya, hal yang ku takutkan terjadi juga. Ku jamin, mulai hari ini ku akan kehilangan sosok ilham.
Terlalu banyak yang tuhan ambil dari ku pada hari ini. Sahabat dan keluarga ku. Malam ini terasa begitu panjang. Bahkan ku berpikir apakah aku bisa menikmati fajar esok. Ujian skripsi ku di depan mata, 6 jam lagi. Sekarang pukul 04.00 dini hari. Ku masih larut dalam angin malam. Udara terasa semakin menusuk. Kaos oblong ku tak mampu melawan suhu dingin ini. Samar ku dengar kaki di belakang ku. Bukan satu orang. Dua atau tiga orang. Aku terkaget. Ada yang menyentuh bahu ku. Dan punggung ku terasa begitu hangat. Selimut kecil yang tebal membalut tubuh ku kini. Ku menoleh. Ku dapati wajah-wajah yang ku kenali di hadapaan ku kini. Wajah-wajah yang basah oleh air mata. Mereka sahabat-sahabat ku. Winda, Aliya, dam Mira. Aku pun tak kuasa menahan air mata ku. Ku peluk erat ke empat sahabat ku. Kami berempat menyambut fajar bersama.
------
Ujian skripsi ku lancar. Segala sesuatunya dipersiapkan oleh sahabat-sahabat ku. Winda, dengan mata yang masis sembab bolak-balik menyediakan konsumsi. File ku untuk seminar pun sempurna di tangan Aliya. Mira dan Bang Adi mengantarku ke tempat seminar. Tak ku bayangkan jika mereka tak ada.  Karena mereka lah kini keluarga ku. Dan akhirnya semua kembali seperti semula. Bahkan lebih indah. Aku dengan mereka yang benar tulus.
------
Aku hanya perlu lebih paham, aku hanya tak harus merubah sifat sahabat-sahabat ku, aku tak perlu merubah cerita ku bersama mereka. Aku hanya perlu melebur bersama mereka dalam ikatan yang tulus. Winda, Aliya dan Mira pun begitu. Karena kami berbeda. Dan kami akan menciptakan keindahan. Seperti pelangi, indah karena tujuh warna yang berbeda menayatu.

Selasa, 19 Februari 2013

Disappear

Hanya biarkan semua memudar. Seperti seharusnya. Sirna untuk sepatutnya  Mengalir lebih jauh. Lepas semakin tinggi. Seperti siang kepada malam atau sebaliknya. Tunduk. Patuh. Dari awan untuk angin. Atau debu kepada gerimis kemarau. Sirna sekejap. Lebih saat embun tertusuk fajar. Telah ku ikhlaskan separuh ku untuk mu. Bawalah pergi hingga ke sudut alam. Hingga lenyap bersama dunia yang terlupa. Cukuplah lewat, semesta ceritakan pesan cintaku untuk fatamorgana. Berkatnya dunia ku tak pernah berujung. Tatapan ku bahkan tak memiliki batas. Dan dimensi tetap mngijinkan ku untuk merindu. Merindu kepada yang tak bernama. Hanya titip salam ku melalui senja, kepada malam. Tak ada alibi untuk melukis kisah bersama. Meski lelah,  biarkan tanya mendekap di memori. Kenapa bukan kita. Karena aku tunggal, kau, dan dia  pun demikian. 

Jumat, 15 Februari 2013

Welcome Home, Dear..!!




Selamat datang di dimensi ku, kawan. Selamat bergabung dengan kami, aku dan mimpi-mimpiku. Inilah dunia ku, kehidupanku, area imajinasiku, zona cinta ku. Bagaimana perjalananmu? Melelahkan? Tak usah sendu akan peluhmu, bahkan sedetik gundahmu akan sirna saat kau menapaki dimensi ku. Ceritakan pada ku bagaimana kau menemukan tempat ini? Jika boleh ku tebak, perahumu pasti bersandar di pasir putih dekat batu karang berbentuk hati. Itu namanya batu karang cinta. Tercatat kisah romantis sepasang insan yang tak bisa ku ceritakan padamu terjadi di sana. lupakan itu, bagaimana rasanya menapak di pasir putih? Kau merasa menyatu dengan bumi? Indah bukan? Aku tahu kau berjalan meninggalakan pantai dan memasuki pulau. Kawan, apa kau tak takut, pohonnya tinggi-tinggi lho? Kau memasuki hutan yang gelap. Bahkan sinar mentari tak di ijinkan menyentuh tanah. Tapi matahari cerdik, ia dapat celah dan menerobos perlahan. Meski tak sampai di tanah, ia puas menyentuh dedaunan, ia tak pelit berbagi kasihnya yang hangat. Kau pasti mendengar nyanyian burung. Itulah nyanyian alam, mereka menyambutmu. Karena kau istimewa. Dan sepanjang kau melewati hutan itu, nyanyian itu tak akan pernah berhenti. Percayalah, mereka tulus kepadamu. Aku yakin, kau pasti menikmatinya, perjalananmu akan menyenangkan, kau tak sendiri disitu. Terus, apa kau melihat muara kecil di tengah hutan? Itu pertanda kau hampir keluar dari situ. Pasti kau singgah untuk meneguk airnya. Segar bukan? Lihatlah. Dimensiku begitu baik padamu. Ia menyediakan pelepas dahaga untukmu. Berharap kau tak letih untuk mencapai tujuan, berharap kau terus melangkah, dan tak pernah berbalik.
Beberapa langkah setelah melewati muara, apa yang kau lihat, kawan? Jangan katakan jika pipimu basah. Dan jangan katakan jika kau berlutut ataupun bersujud. Kau masih di bumi, hanya semntara kau berpijak pada belahan bumi yang teristimewa, dimensi ku, anugrahNya. Aku tau, kau melangkah perlahan. Kau bentangkankan tanganmu, menutup mata mu. Menghirup oksigen dengan aroma alam, lebih lama, lebih dalam. Bagaimana rasanya hembusan angin sore? Bagaimana rasanya berselimut ilalang? Luar biasa bukan? Hari terindah dalam hidupmu. Tiba-tiba langkahmu terhenti, kau merasakan kakimu berpijak pada milyaran butiran halus. Pasir? Kau pasti berpikir “masa udah nyampe pantai lagi, apakah pulau ini begitu kecil?”. Tidak. Bukan. Kau sedang tidak berada di pantai. Bukalah matamu. Tatap di sekelilingmu. Kau sedang berdiri di tengah lautan pasir. Pertanyaanku, apa kau melihat ujung bumi di tempamu berdiri? Bahkan kau tak sadar sudah seberapa jauh kau berjalan. Larilah kawan, kau akan kehilangan senja nanti. Sesekali lihatlah di belakangmu. Jejak mu di milyaran serbuk halus itu bahkan abadi.
Kau belum sampai, kawan. Tataplah ke atas. Kau lihat awan itu? Itulah tujuanmu. Mulailah melangkah, berpikir, berdo’a, dan tetap menatap ke atas. Maka kau aka tiba dan melihatku. Bernapaslah dengan tenang. Lindungi seluruh tubuhmu hingga hanya mata yang akan tetap menatap tajam. Teruslah melangkah, tapaki setiap urat bumi yang kau lihat. Nikmati dinginnya udara yang hanya kau rasakan di sudut alam yang belum terjamah. Mantapkan hatimu kawan hingga kita bertemu. Tak apa jika sesekali terdiam. Renungkan betapa indahnya perjalananmu.
Jangan terlena dengan kisah alam yang memanja. Sayangi tiap langkah mu untuk menggapaiku. Lihatlah di sekelilingmu. Pesona bumi yang melebihi cinta pertama mu. Raihlah tiap helai dahan yang bisa kau sentuh, kau tak pernah sendiri. Sejenak menoleh lah, bisa kau hitung telah berapa liku di belakangmu, telah kau ukur sedalam apa jurang di sebelah mu? Kini kau telah jauh melangkah. Lihat, cerita apa yang telah kau tulis.
Kawan, kau hampir tiba. Apa kau melihat ku? Kau melihat uluran tangan ku. Aku menyambutmu. Raihlah tanganku. Kita bertemu. Sekarang kau berdiri tepat di sampingku. Kali ini aku akan diam. Tak akan ku lontarkan pertanyaan untukmu. Karena yang ku lihat, ku dengar dan kurasakan sama halnya denganmu. Kita berdiri di atas langit. Bahkan ku merasakan langit di tanganku. Berteriaklah. Sampaikan mimpi mu kepada langit. Titiplah rindu mu lewat langit, agar semua mahluk bumi dan seluruh galaksi mendengar. Muntahkan seluruh keluhmu, lepaskan seluruh amarah yang masih mengendap, dan menangislah hingga tak ada lagi air mata untuk kisah berikutnya. Bebaskan seluruh raga mu. Sejenak ku berikan zona nyaman ku untuk mu, kawan. Sekarang adalah detik-detik terhebat sepanjang sejarah sebelum bumi merampas mu. Dan lihatlah, matahari terasa begiru dekat, seakan bisa disentuh. Matahari terhangat, terindah. Alirkan hangatnya di sekujur nadi mu hingga alam mengikuti nada jantungmu. Tataplah lekukan pesona bumi-Nya. Manyadarkan bahwa Ia lebih besar dari yang kau duga, lebih hebat dari bayanganmu, dan lebih sempurna.
Emm.. kayaknya kita butuh perahu, bukan perahu biasa. Karena samudra di depan mata ku adalah samudra yang istimewa”.
Hanya kalimat itu yang ku dengar saat bibir tipismu bergerak lembut. Aku melihat sesuatu di tangan mu. Edelweis. Ku yakin perjalananmu lebih indah dari yang ku ceritakan. Aku hanya ingin katakan “welcome home, dear..!!