Pelangi di Ujung Malam
By: Fatimah Ulfah
Galau.
Kamu galau biasa karena apa? Diputusin pacar? Nilai kamu anjlok? Atau kiriman
uang kamu yang telat? Masalah yang biasa. Tapi akan luar biasa kalau semuanya
meninpa kamu. Kayak aku sekarang. kemarin ini tepatnya. Masalah bertubi-tubi
nyerang aku. Yang tak pernah ku duga akan terjadi.
Nama
aku Nuri. Aku mahasiswa semester akhir yang rencananya besok mau seminar
skripsi. Aku yatim piatu. Tiap jenjang pendidikan, aku pindah-pindah.
Tergantung kerabat aku yang mana yang mau nampung aku. Aku SD di Bandung, SMP
di Semarang, SMA di Surabaya dan kini aku kuliah di Jakarta. Kini aku menumpang
di rumah tanteku. Etss,, jangan salah, aku kuliah pakai biaya sendiri. Di sela
perkuliahan aku kerja serabutan. Mulai dari loper koran, kerja di tempat
fotokopian kampus, malahan aku bisa sambilan jadi SPG. Apapun itu aku lakukan
yang penting kuliah aku bisa selesai.
Semalaman
aku gak tidur. Semua berkecamuk di kepala. Semua masalah yang terjadi kemarin.
Satu pertanyaan yang kini berputar di otak aku. Apa rencana tuhan kali ini.
Kenapa harus kemarin aku masti ngerasain dunia yang kiamat. Tidak kah satu
persatu saja masalah itu datang. Kenapa mesti semuanya langsung terjadi
kemarin. Apakah aku begitu kuat di mata-Nya. Apa aku begitu tegar. Apa bisa
hari ini terlewatkan dengan indah. Apa bisa besok aku sukses di seminar
skripsi. Perasaan ini, rasanya ingin kabur ke tempat asing. Gak ada yang kenal
sama aku. Atau ke pulau yang tak berpenghuni. Cuman ada aku dan semua gelisah
yang tak berujung ini. Aishh... akhirnya aku cuman bisa berpikir ngelantur gak
jelas. Udah gak kehitung berapa banyak air mata aku hari ini. Ya, sampai sakit
kepala dan dah gak bisa lagi aku nangis.
Mungkin habis. Entahlah. Semua bermula karena hubunngan aku yang gak sehat.
Hubungan aku sama mereka yang katanya sahabat aku. Dan beberapa orang
terdekatku.
Winda,
Aliya dam Mira. Sahabat-sahabat yang aku kenal waktu ospek mahasiswa baru di
kampus. Awalnya kami bertiga sama-sama menerima hukuman dari senior kami karena
melanggar aturan ospek. Hukuman yang sudah menjadi tradisi dari senior kami. Di
suruh kesana kemari gak jelas. Disuruh begini lah, begitu lah dan semuanya tak
pernah benar di mata senior. Ya, senior yang selalu benar. Hukuman penutup,
kami disuruh mengumpulkan katak di danau kampus. Dari situ lah keakraban
diantara kami mulai terjalin, aku sendiri senang tak terkira. Awalnya aku
minder karena mungkin aku gak bakalan dapat teman dengan mudah di kampus ini
dengan keadaan aku yang kayak gini. Tapi aku lihat ketulusan Winda, Aliya dam Mira,
pada saat itu aku yakin kami bakalan saling berbagi suka dan duka sebagai
sahabat nantinya.
Winda,
si anak bungsu dari keluarga yang cukup terpandang. Lahir dan besar di kota
kembang, Bandung. Biar anak bungsu, tapi kehidupan winda seperti anak tunggal,
perlakuan orang tuanya sangat spesial untuk Winda. Sebenarnya aku masti nyimpen
tanda tanya besar untuk hal yang satu itu. Winda sebenarnya punya dua kakak,
tapi salah satunya meninggal karena sakit waktu masih balita. Entahlah, apapun
penyalit kakanya Winda aku gak pernah nanya. Karena winda juga kayaknya tidak
terlalu terterik membahas hal itu. Winda yang manja dan selalu bertingkah
semaunya memang yang plaing cantik dan kaya diantara kami berempat. Ya, kami
harus punya kesabaran ekstra untuk menghadapi sahabat kami yang satu ini.
Terlebih aku yang memang paling dekat dengan Winda dibandingkan Aliya ataupun Mira.
Dibalik sifat manjanya yang luar biasa, Winda adalah orang pertama yang selalu
dimntai solusi jika kami bertiga punya masalah.
Aliya,
mahluk yang menjunjung tinggi kesempurnaan. Perfectionist. Kadang ku bertanya
sendiri dalam hati, apa iya sahabatku yang satu ini mahluk bumi. Saking ia
menuntut kesempurnaan, justru kerepotan di sana sini yang terjadi. Jika Winda adalah
anak bungsu yang merangkap status anak tunggal dengan segala kemanjaannya, maka
aliya adalah anak sulung yang suka mengatur dengan segala otoritas yang ia
bangun sejak memakai seragam sekolah. Aliya, si profesor yang kutu buku. Aku
jadi teringat salah satu sinetron. Si peran utama yang bertemankan kutu buku
culun, dandanan khas dengan kaca mata tebal, gaya yang kampungan dan kata-kata
lain yang masih sebangsanya. Tapi aliya bukanlah “kutu buku” nya sinetron.
Bahkan aliya tak berkaca mata. Aliya adalah kutu buku yang manis, stylish,
populer, dan yang pasti memiliki kepintaran di atas kami bertiga. Sayangnya,
kami berempat tidak satu jurusan. Kejeniusan aliya tidak banyak membantu untuk
tugas kuliah ku, Winda ataupun Mira.
Dan
sahabat ku yang terakhir adalah Mira. Bagiku dia misterius. Tak banyak bicara
dan penurut. Segudang rahasia ia sembunyikan dari kami sahabatnya. Padahal
hampir empat tahun kami bersama. Tak banyak hal yang yang ku tau tentang mira.
Hanya beberapa kali ia mengajak kami ke rumahnya. Rumah yang mewah dan sepi,
tak pernah sekalipun ku lihat orang tuanya saat ke rumahnya. Hanya mbok Mirna,
pemabantu yang sudah 10 tahun katanya bekerja disitu, pak Soleh, tukang kebun
yang juga suami Mbok Mirna dan seorang supir pribadi yang akrab kami panggil Bang
Adi. Mira berubah pendiam sejak tahun ke-2 kuliah. Saat itu tersebar desas-desus
bisnis papanya bangkrut. Rumahnya disita bank dan mereka harus pindah ke
kontrakan. Tapi, beberapa bulan setelah itu keadaan kembali seperti ia dan
keluarganya tidak mengalami kebangkrutan. Ia kembali ke umah mewahnya. Yang
berubah hanya orang tuanya yang semakin sibuk. Bahkan satu kalipun aku belum
pernah melihat langsung wajah orang tuanya baik sebelum ataupun setelah isu
keluarganya yang bangkrut. Begitu juga dengan saudaranya yang lain. Setauku dia
anak ke-2 dari empat bersaudara. Entahlah kami berempat memang jarang membahas
tentang keluarga masing-masing.
Masih
ada dua orang yang mengacau di hari sial ku kemarin. Rina, anak semata wayang
tanteku. Ilham, sahabat kecilku sewaktu aku sekolah di surabaya. Aku dan ilham
sangat dekat. Lebih dekat dari sahabat pada umumnya. Persahabatan yang salah
menurut ku, dan akhirnya ilham menyalahartikan perasaannya. Dia menyukaiku,
menyayangiku, mencintaiku lebih dari sahabat, katanya. Ku hanya tersenyum saat
membaca sms nya pada saat itu. Bagiku, Ilham adalah sahabat, jikapun lebih, dia
adalah saudaraku.
Kemarin
Rumah aliya.
“Guys,
gue ada film baru neh. Nonton yuk! Pakai leptopnya Nuri aja ya.” Winda langsung
merebahkan dirinya di kasur sambil mengeluarkan VCD yang baru ia beli.
Gue
nolak, Win. Gue musti pulang. Lagian
gue belum selesain presentasi gue buat seminar lusa.
Kok
lu gitu Ri, Winda jauh-jauh ke sini bawain kita film. Lu kan tau kan, nyokapnya
winda jarang kasi ijin Winda buat keluar. Aliya duduk di depanku dan memasang
muka mengancam.
Lusa
gue seminar. Presentasi gue blum selesai, dan masih banyak yang mesti gue
siapin. Besok gue bakalan sibuk di rumah, tante gue bakalan ada tamu penting
yang datang Kalian bantuin gue gitu buat persiapan seminar. Waktu gue cuman
hari ini.
Pokoknya
gue gak mau tau. Sekarang kita nonton. Ri, buka leptop lu. Trus entar malam gue
mesti beliin tas buat nyokap gue. Berhubung Aliya ntar malam ada jadwal
tenteran, dan Mira harus ke luar kota, jadi gak ada pilihan lain. Nuri, lu
mesti temenin gue. Nada suara Winda semakin meniggi sambil menunjuk aku.
"Sori,
Win. Gue juga gak bisa nemenin lu"
"Kenapa?"
"Gue
mau persiapan buat seminar."
"Kan
bisa besok."
"Ada
acara di rumah tante gue, berapa kali sih gue mesti bilang."
"Lu
bisa bileng sama tante lu kalau besok lu gak bisa bantu, soalnya lu mau
persiapan buat seminar. Gampangkan. Jadi ntar malam lu bisa nemenin gue."
"Apa
gue mesti kayak gitu?"
"Iya
dong. Menurut gue tante lu pasti ngijinin."
"Sejenak
ku menghela napas."
"Win,
lama-lama gue capek hadapin lu, Aliya dan Mira. Gue tau, gue yang paling bobrok
disini. Gue bukan orang kaya kayak kalian, gue juga gak punya keluarga kayak
kalian. Tapi bukan berarti gue boneka lu. Gue cuman punya tente gue sekarang.
Gue numpang di rumahnya. Lu mungkin gak bisa ngerti posisi orang yang numpang
di rumah orang kayak gimana, karena lu gak pernah numpang. Lu punya segalanya.
Win, gue bukan nyokap lu yang mesti ada saat lu mau ini mau itu. Gue bukan
nyokap lu yang mesti mantau lu 24 jam. Gue juga bukan bokap lu yang mesti
ngantarin lu kemana pun lu mau. Gue bukan jongos lu atau pun Aliya."
"Maksud
lu apaan sih?" Sela aliya
Al,
gue belum selesai. Teman, selama ini gue cuman mendam rasa gak enak selama gue
jalan ma kalian. Gue kayak orang suruh-suruh lu Win. Gue tau lu manja, gue bisa
tolerir kemanjaan lu selama ini. Tapi kali ini lu keterlaluan.
Al,
gue juga bukan asisten lu. Oke Al, lu pintar, jenius dan sibuk. Gue emang
banyak banget minta bantuan lu dalam urusan akademik, tapi bukan berarti gue
jadi pesuruh lu dan harus bermandikan kertas dan buku-buku lu. Berhenti perlakuin
gue kayak boneka.
"Teman,
gue bisa nemenin kalian di saat-saat gue emang bisa nemenin kalian, gak selalu.
Gue juga punya urusan, gue punya kerjaan. Lu semua tau, hampir tiap hari gue
ditegur sama tante gue karena telat pulang, kerjaan di rumah jadi gak beres.
Gue telat karena gue nenmenin kalian. Oke, gue juga nikmatin kebersamaan kita,
tapi pernah gak kalian mikirin keadaan gue? Gak pernah. Pulang kerja gue mesti
ke sini baru pulang ke rumah. Gue ngehargain lu semua. Gue tau kalian pasti
akan masang muka masam kalau satu kali aja gue gak gabung. Kalian gak pernah
mikir kalau gue capek abis kuliah, gue mesti ke tempat kerja, trus gue ngumpul
ma lu semua, dan sampai di rumah gue telat, tante gue marah dan gue msti
bergadang lagi buat keja tugas kuliah dan pekerjaan rumah."
Gak
sadar air mata ku mengalir. Ku lihat hanya mira yang berkaca-kaca. Aliya
terdiam dan sepertinya.
"Lu
gak pernah bilang, Ri. Lu gak pernah kasi tau kita. Winda mengguncang tubuhku
dan bersuara dengan nada tingi."
"Karena
lu semua gak pernah perduli. Kalian hanya perduli dengan keinginan kalian
masing-masing. Sebagai sahabat kalian
gak peka."
"Terserah
lu Ri. Winda beranjak dan mengambil tas nya."
"Gue
juga balik. Mira pun menyusul."
Aliya
diam.
Aku
pun pulang tanpa berkata apa-apa.
Rumah
tante ku
Baru memasuki halaman, tangan
ku sudah gemetaran. Keringat dingin ku bercucuran. “Asli kiamat”, gumanku dalam
hati. Ku lihat dua koper yang ku bawa 4 tahun lalu tergeletak di depan pintu.
Apa aku di usir? Langsung ku gedor pintu rumah dan berteriak memanggil tanteku.
Dari dalam ku mendengar suara tanteku dan rina.
Semua barang mu sudah
ada di dalam koper itu. Tak ada yang ketinggalan. Kamu punya tabungan kan.
Tante lagi gak ada uang. Jadi gunakan uang mu sendiri.
Seperti disambar petir
ku rasa. Tuhan, ini bukan sinetron kan. Apa yang ku alami benar-benar di luar
dugaan ku.
Pasti Rina, dia memang
tidak pernah suka semenjak aku tinggal di rumahya. Entah bualan apa yang ia
katakan kepada mamanya sehingga aku di usir. Pengganggu kecil itu memang selalu
membenciku.
Aku hanya bisa
menangis.
Tak apa, semua akan
baik-baik saja.
Ku hanya bisa menghibur
diri ku sendiri.
Bingung, ke mana akan
ku pergi. Aliya dan Winda tak mungkin menerima ku setelah kejadia tadi. Hanya Mira
yang ku harapkan saat ini.
Rumah
mira
Mira kaget saat
melihatku berdiri di depan pintu rumahnya setelah ia membuka pintu.
Kok lu di sini, ri?
Ngapain malam-malam gini? Koper lu kok?
Gubrak.
Tubuh ku membentur
tanah. Gelap.
Kamar
mira
Kepala ku terasa sakit.
Bau minyak kayu putih yang begitu menyengat mengalahkan bau pengahrum ruangan.
Samar ku lihat di sekeliling ku. “Kamarnya Mira?” gumanku dalam hati. Samar
terdengar suara beberapa orang yang ngobrol di depan kamar. Kata per kata ku
tangkat, kalimat per kalimat ku dengar. Untuk meyakinkan yang ku dengar, ku
beranikan diri keluar kamar. Dan, sekali lagi seperti tersambar petir ku rasa.
"Mira...!!"
"Nuri..?? Ri, gue bisa
jelasin.!"
-----------
Malam tiba. Ya, malam
ini gue duduk di halam belakang rumah mira. Tadinya bersama mira. Sekarang aku
menikmati langit yang bersih dari awan, langit yang dipenuhi bintang.
Sendirian. Kembali ku ingat pengakuan mira kemarin di depan kamarnya. Mira yang
berubah jadi pendiam memang telah berubah. Bukan mira yang dulu kaya. Ya, dia
memang kembali ke rumahnya yang dulu pernah disita oleh bank. Bukan sebagai
pemilik. Tapi sebagai pembantu. Keluarga pembantu. Mbok Mirna dan Pak Soleh adalah
orang tuanya, dan Bang Adi yang biasa mengantarnya kuliah adalah abangnya.
Meski awalnya mira sulit menerima keadaannya, tapi sepertinya ia mulai paham
bahwa yang ia lakukan selama ini salah.
“gue gak pengen kalian
ninggalin gue karena keadaan gue.”
Ku ingat perkataan Mira
sambil terisak dalam pelukan ku. Mira salah. Aku, Winda ataupun Aliya tak
meninggalkannya.
Memori ku pun kembali
pada beberapa saat setelah aku di usir tanteku. Di perjalanan menuju rumah
mira, aku mendapa telepon yang mungkin tak akan ku lupakan. Pertama, ilham
menelponku. Tapi bukan dia yang berbicara. Suara wanita dengan nada tinggi yang
mengancam dan menghardik ku. Pacarnya ilham. Akhirnya, hal yang ku takutkan
terjadi juga. Ku jamin, mulai hari ini ku akan kehilangan sosok ilham.
Terlalu banyak yang tuhan
ambil dari ku pada hari ini. Sahabat dan keluarga ku. Malam ini terasa begitu
panjang. Bahkan ku berpikir apakah aku bisa menikmati fajar esok. Ujian skripsi
ku di depan mata, 6 jam lagi. Sekarang pukul 04.00 dini hari. Ku masih larut
dalam angin malam. Udara terasa semakin menusuk. Kaos oblong ku tak mampu
melawan suhu dingin ini. Samar ku dengar kaki di belakang ku. Bukan satu orang.
Dua atau tiga orang. Aku terkaget. Ada yang menyentuh bahu ku. Dan punggung ku
terasa begitu hangat. Selimut kecil yang tebal membalut tubuh ku kini. Ku
menoleh. Ku dapati wajah-wajah yang ku kenali di hadapaan ku kini. Wajah-wajah
yang basah oleh air mata. Mereka sahabat-sahabat ku. Winda, Aliya, dam Mira.
Aku pun tak kuasa menahan air mata ku. Ku peluk erat ke empat sahabat ku. Kami
berempat menyambut fajar bersama.
------
Ujian skripsi ku
lancar. Segala sesuatunya dipersiapkan oleh sahabat-sahabat ku. Winda, dengan
mata yang masis sembab bolak-balik menyediakan konsumsi. File ku untuk seminar
pun sempurna di tangan Aliya. Mira dan Bang Adi mengantarku ke tempat seminar.
Tak ku bayangkan jika mereka tak ada. Karena mereka lah kini keluarga ku. Dan
akhirnya semua kembali seperti semula. Bahkan lebih indah. Aku dengan mereka
yang benar tulus.
------
Aku hanya perlu lebih paham,
aku hanya tak harus merubah sifat sahabat-sahabat ku, aku tak perlu merubah
cerita ku bersama mereka. Aku hanya perlu melebur bersama mereka dalam ikatan
yang tulus. Winda, Aliya dan Mira pun begitu. Karena kami berbeda. Dan kami
akan menciptakan keindahan. Seperti pelangi, indah karena tujuh warna yang
berbeda menayatu.