Minggu, 14 Juni 2015

Puncak Bulusaraung

Bukan karena “kemana” nya tapi, sama “siapa”nya.
Ah, hanya tagline penghibur diri untuk beberapa tempat yang sulit terjangkau.
Sabtu, 13 Juni 2015, 1232 mdpl puncak Bulusaraung, Pangkep.
Terimakasih tak terhingga untuk teman-teman terhebat yang sudah bersama-sama merasakan dinginnya puncak Bulusaraung.
Lima gadis nekat ini hanya bermodal sandal gunung, jaket ala kadarnya, dua sleeping bag dan dan 3 lelaki pendaki professional dengan tumpuan harapan terbesar kami pada isi carrier-carrier di punggung mereka.
“Perhatikan pijakan kaki, langkah kaki kanan ambil nafas, buang nafas di langkah kaki kiri. Pelan-saja.” Entah berapa puluh kali kalimat ini menggema sepanjang tanjakan. Belum pos 3 rasanya saluran napas sudah mulai menyempit. Muka pucat. Nekat sih, tanpa persiapan fisik sok kuat mau muncak.
Saling menyapa selama perjalanan. “Permisi bang, duluan”. “Mari, kanda”. Dan beberapa sapaan hangat lainnya. Kalo pendaki berpapasan emang gini ya? Membunuh letih saat mendaki, ada yang memutar music, kebetulah yang play adalah soundrack film 5 cm. serasa menanjak di Semeru. Hahaha. Indahnya menghayal.
Sekali lagi terima kasih tak terhingga, untuk kalian yang hebat, sabar, dan keren pastinya.

Arafah P, temannya Arafah (Siapapun namanya J), Muhammad Nardiansyah, Munawwarah Syam, Wahyuni Tahir, Mutmainnah, dan Ratna.






























Kamis, 04 Juni 2015

Lampau

“Padahal ku ingin yang lampau, yang kini tak terjangkau” (Sapardi Djoko Damono)
Labirin waktu 10 tahun lalu itu masih meliuk-liuk dalam setiap detak pompa jantung. Iya, yang lampau yang tak terjangkau. Kedua bola mata pun bahkan tau diri hanya untuk mencuri pandang. Lalu hanya mampu menitip pesan-pesan rindu melalui do’a. dan? Ia menerimanya? Tak ada balasan hingga bahkan langit lelah membiru. Adalah lelah yang setiap paginya ingin aku nyanyikan.   

Lalu setengah lelahku terbang menguap mengangkasa. Terisi oleh mimpi yang terjanji di tengah labirin waktu 10 tahun lalu. Ku biarkan kau masuk dalam labirin ini, semoga bisa menuntunku menemukan apa yang ku cari. Sekarang kau tau kan, betapa egoisnya aku. Dengar bisikku, hanya dua pilihan untukmu orang baru. Cari apa yang ku mau lalu kau mati sia-sia. Atau, berdirilah disamping ku, tentu kau boleh masuk. Mengalir disela butir darah ku, keluar masuk dinding jantung ku, menyapa setiap sel tubuhku, lalu sabotase setiap celah otak ku sesuka hati mu. Pilihan yang adil.

Ah sudahlah, meski setengah lelahku telah berhasil berkelana mancari tempat bersandar yang mungkin tepat, setengah lelah lainnya entah dimana ia bersembunyi. Hanya sesekali terasa sesak hingga ubun-ubun.


Dan akhirnya kubiarkan semuanya terlunta-lunta. Mungkin seperti debu kemarau yang tersapu gerimis. Jika kau paham, harusnya kau lebih sibuk mengingatkan ku.