Minggu, 08 November 2015

Skip November, Please..!!


Welcome November. November rain, November ceria dan nama manis untuk bulan menjelang akhir tahun ini. Apalah November, sosok perempuan dalam cerita ini hanya ingin segera meng’skip’kan Novembernya. Sebab penggiring lupa hanya lah waktu. Sebut saja perempuan itu “aku”. Jangan terlalu serius, ‘aku’ hanya label semata. Segala kisah dan kejadian berikut bisa saja dari pengalaman pribadi, pegalaman orang terdekat, atau hanya sepintas imajinasi yang terkesan klise. Sekali lagi, jangan terlalu serius.
Hari pertama November di kota kecil ini dihiasi petrichor di seluruh sudut kota. Gerimis pertama menerbangkan bakteri Actinomycetes, mengembangkan senyum setiap penumpang angkot. Sebagia merek melihat ke luar jendela. Beberapa mereka yang berada di dalam gedung keluar mengitip buliran air langit itu. Betapa hujuan menyebar cinta dan kebahagian. Menenangkan melihatnya.
Aku pun salah satu dari mereka. Memandang hujan dari balik kaca jendela kantor. Jam pulang kerja ku ulur beberapa waktu hingga langit berdamai dengan bumi. Aku tak bawa payung hari ini. tak terduga jika hujan akan tumpah di senja awal November. Headset handphone masih terpasang di kedua telingaku. Sudah satu jam. Aku sedang mengobrol dengan seseorang yang seperti sedang mencincang jantungku. Agak berlebihan memang.
Seorang pria yang berkali-kali mengatakan cinta, sayang dan segala ucapan manis lainnya. Pria yang katanya sangat berharap menua bersama ku, pria yang sedang berjuang meyakinkan keluarganya bahwa telah mampu membangun rumah tangga. Nah, bagaimana aku tak luluh. Tapi kali ini ia seperti sedang menusuk organ jantungku dengan rusuknya. Percakapan kami beberapa waktu lalu tak ubahnya guntur sore ini yang membelah langit.
“Maaf menyampaikan kabar buruk untukmu. Kabar yang pasti tak ingin kau dengar. Maaf karena aku memberimu beban pikiran hari ini. demi tuhan, berhari-hari aku telah memikirkan untuk mengatakannya. Baru kali ini aku punya nyali untuk jujur. Kemungkinan buruk pun aku telah siap.”
“Serius amat. Ada apa?”
“Dia menghela napas panjang. Beberapa detik hening.”
“Aku tak sebaik yang kamu kira. aku pernah melakukan kesalahan besar nan fatal di masa lalu, sebelum kita bertemu.”
“Sudah pernah?”
“Iya, dulu. Saat aku bodoh. Tapi percayalah, aku tidak akan melakukannya lagi . Ini aku seperti yang kamu kenal sekarang.”
“Tunggu, kesalahan besar apa, kesalahan fatal apa?
(disensor saja ya, dibaca pun rasanya tak layak. Terlalu hina.)
Suara ku tetiba hilang. Dia tak perlu menjelaskan detail. Aku paham dari semua kata yang terlontar darinya.
Reflex jariku mematikan handphone. Ah, aku tetiba tremor. Seluruh sendi tak berasa. Nafas terasa sesak. Rasanya pedih, Guntur semakin menggelegar. Bahkan alam murka pada mu. Bagaimana hanya aku yang tak punya kuasa apa pun. Meski itu masa lalumu, kau tumbuh dan bernafas padanya.
Ah, terbayang sepenggal beberapa film melankolis beberapa waktu lalu. Mungkin aku akan seperti sosok Asmara, yang dengan kekuatan hati mengatakan tidak untuk kembali kepada kekasihnya setelah kekasihnya melakukan hubungan terhina dengan perempuan lain. Meski kekaksihnya telah berjuang membuktikan bahwa ia hanya khilaf dan hanya Asmara yang ia cintai. Atau mungkin seperti Arini. Ah tidak, detik ini aku tak sanggu menjadi Arini. Tak sanggup memiliki kesabaran hati yang luas menerima pasangan dengan “kecacatannya” terlebih menyangkut perempuan lain. Tidak. Aku hanya perempuan biasa yang gampang kecewa dengan orang yang sudah dipercaya.
Di luar hujan semakin menggelgar. Langit mulai menghitam. Apa daya matahari yang sementara merangkak, tak mampu memesona. Ah, tubuhku serasa lemah. Bibir dengar getaran tak beraturan menyebut nama Tuhannya.
Kaca jendela buram oleh embun hujan sore. Tetiba notifikasi pesan singkat mu menyapa ponsel ku.
“Dengan segenap kerendahan hati aku hanya bisa minta maaf. Bukan karena apa yang telah aku lakukan, karena hanya tuhan yang berhak menghakimiku. Tapi karena waktu yang mungkin tidak tepat. Dan akan lebih tidak tepat jika aku menundanya. Percayalah, tidak ada satu lelaki pun yang akan mengatakan aibnya kepada wanita jika ia tidak sangat mencintai dan menyayanginya. Aku lebih dari itu kepadamu. Kembali pada mu bagaimana menyikapi ini. aku telah siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun kau jijik padaku.”
Tak perduli dengan pesan singkatmu, beberapa detik menjelang hujan reda aku hanya ingin seperti tak pernah mengenalmu. Mungkin aku terlalu tidak perduli dengan hidup kehidupan versi dunia masa kini. Segala kebobrokan, hal keji yang melanggar norma sudah hal biasa. Pernah melakukannya menjadi hal yang biasa. Selanjutnya minta maaf dan bisa saja kembali melakukannya atau pun bertaubat. Teringat obrolan ku dengan sepupu beberapa hari lalu tentang salah satu tetangga dekat yang baru saja melahirkan anak pertamanya.
“Sudah melahirkan? Cepet amat. Nikahnya lho baru empat bulan lalu.”
“Biasa aja kali ekspresimu. Tidak perlu kebangetan gitu kagetnya.”
“Aduh mbak, wajar aku kaget. Dia kan perempuan baik-baik, bependidikan, agamanya bagus. Tidak mungkin bisa kajadian seperti ini.”
“Perempuan itu juga manusia. Manusia.”
“Kok mbak biasa aja, kaget pun tidak.”
“Agak kaget sih awalnya. Buka matamu, lihat disekitarmu. Dunia semakin bobrok. Kejadian seperti ini bukan 1 dari 100 pasangan. Tapi 90 dari 100 pasangan.”
“Mbak berlebihan.”
“Kenyataanya seperti itu.”
“Orang rumah kok tidak ada yang nyinggung ya.”
“Tidak ada yang berani menyinggung, sebab mereka hanya akan menjilat ludahnya sendiri.”
“Maksudnya mbak?”
“Bisa saja kejadian yang sama menimpa anak mereka. Karena jaman sekarang hal keji macam itu bisa-bisa aja terjadi.”
Sudah sebobrok ini kah dunia Mu, Tuhan? Atau aku yang terlalu menutup mata dan telinga pada gejolak zaman? Aku hanya tau hal baik-baik saja, memang. Terlahir dari keluarga sederhana, dengan keluarga besar yang biasa-biasa saja tanpa masalah yang berarti, tetangga yang baik dan ramah. Sekolah dengan sewajarnya, masuk perguruan tinggi negeri, teman kuliah pun adem ayem saja. Sarjana tepat waktu, lalu bekerja untuk materi di masa depan. Sial, sungguh flat ternyata hidupku.
Hape ku berdering sekali lagi. Oh sungguh, pesanmu kali ini sangat singkat.
Maaf.
Ya tuhan, nafas ku rasanya semakin sesak. Aku sangat percaya janjimu, jodoh adalah cerminan diri. Wanita baik untuk lelaki baik. Begitu pun sebaliknya. Beberapa mereka juga menambahkan, meski keduanya pernah sama-sama buruk. Kalau salah satunya bagaimana?
Sekali lagi, aku terjebak dalan zona apa adanya, tau lebih tepat menjebakkan diri. Lalu kali ini aku bisa apa. Mulai meng”apa adanya”kan diri. Mulai berbesar hati, menerima dengan lapang, ikhlas setelah menangis tiap malam seminggu, meremas-remas kertas lalu melemparnya ke tembok entah untuk berapa malam, menatap diri di depan cermin sembari menghujat dalam hati ada salah ku di masa lalu? Ada? Tak akan ku bertanya pada Sang Pemilik Hati, cukuplah Ia yang membolak-balikkan hati ini hingga sepenuhnya ikhlas itu ada.
Terakhir, masih di November kah kita?

Senin, 03 Agustus 2015

1050 MDPL

DUA MALAM 3 HARI YANG LUAR BIASA.
MAAF MEREPOTKAN.
TERIMA KASIH UNTUK SETIAP KENANGAN



















Minggu, 14 Juni 2015

Puncak Bulusaraung

Bukan karena “kemana” nya tapi, sama “siapa”nya.
Ah, hanya tagline penghibur diri untuk beberapa tempat yang sulit terjangkau.
Sabtu, 13 Juni 2015, 1232 mdpl puncak Bulusaraung, Pangkep.
Terimakasih tak terhingga untuk teman-teman terhebat yang sudah bersama-sama merasakan dinginnya puncak Bulusaraung.
Lima gadis nekat ini hanya bermodal sandal gunung, jaket ala kadarnya, dua sleeping bag dan dan 3 lelaki pendaki professional dengan tumpuan harapan terbesar kami pada isi carrier-carrier di punggung mereka.
“Perhatikan pijakan kaki, langkah kaki kanan ambil nafas, buang nafas di langkah kaki kiri. Pelan-saja.” Entah berapa puluh kali kalimat ini menggema sepanjang tanjakan. Belum pos 3 rasanya saluran napas sudah mulai menyempit. Muka pucat. Nekat sih, tanpa persiapan fisik sok kuat mau muncak.
Saling menyapa selama perjalanan. “Permisi bang, duluan”. “Mari, kanda”. Dan beberapa sapaan hangat lainnya. Kalo pendaki berpapasan emang gini ya? Membunuh letih saat mendaki, ada yang memutar music, kebetulah yang play adalah soundrack film 5 cm. serasa menanjak di Semeru. Hahaha. Indahnya menghayal.
Sekali lagi terima kasih tak terhingga, untuk kalian yang hebat, sabar, dan keren pastinya.

Arafah P, temannya Arafah (Siapapun namanya J), Muhammad Nardiansyah, Munawwarah Syam, Wahyuni Tahir, Mutmainnah, dan Ratna.






























Kamis, 04 Juni 2015

Lampau

“Padahal ku ingin yang lampau, yang kini tak terjangkau” (Sapardi Djoko Damono)
Labirin waktu 10 tahun lalu itu masih meliuk-liuk dalam setiap detak pompa jantung. Iya, yang lampau yang tak terjangkau. Kedua bola mata pun bahkan tau diri hanya untuk mencuri pandang. Lalu hanya mampu menitip pesan-pesan rindu melalui do’a. dan? Ia menerimanya? Tak ada balasan hingga bahkan langit lelah membiru. Adalah lelah yang setiap paginya ingin aku nyanyikan.   

Lalu setengah lelahku terbang menguap mengangkasa. Terisi oleh mimpi yang terjanji di tengah labirin waktu 10 tahun lalu. Ku biarkan kau masuk dalam labirin ini, semoga bisa menuntunku menemukan apa yang ku cari. Sekarang kau tau kan, betapa egoisnya aku. Dengar bisikku, hanya dua pilihan untukmu orang baru. Cari apa yang ku mau lalu kau mati sia-sia. Atau, berdirilah disamping ku, tentu kau boleh masuk. Mengalir disela butir darah ku, keluar masuk dinding jantung ku, menyapa setiap sel tubuhku, lalu sabotase setiap celah otak ku sesuka hati mu. Pilihan yang adil.

Ah sudahlah, meski setengah lelahku telah berhasil berkelana mancari tempat bersandar yang mungkin tepat, setengah lelah lainnya entah dimana ia bersembunyi. Hanya sesekali terasa sesak hingga ubun-ubun.


Dan akhirnya kubiarkan semuanya terlunta-lunta. Mungkin seperti debu kemarau yang tersapu gerimis. Jika kau paham, harusnya kau lebih sibuk mengingatkan ku.

Sabtu, 16 Mei 2015

BEGINILAH KALO SUDAH MAINSTREAM

I LIKE MONDAY (ABDUR, DODIT, UUS)




                            OVERACTING (MUSLIM, PRASTEGUH, ARIF ALFIANSYAH)









RULE OF THREE (DZAWIN, DAVID, ABDUR)









STAND UP NITE WITH DZAWIN