Sabtu, 16 Januari 2016

Kemarau di musim hujan



Semenjak November beraroma hujan, oktober tak lagi terkenang.
Hilang tersapu, menguap melangit tak berbekas.
Sementara hujan tak semestinya tentang romatisme
Ada air mata yang bersama menetes menginjak bumi.
Di rantauku hujan hanyalah irama tetesan air langit
Tak ku gubris karenanya jalan aspal kami macet oleh ribuan kendaraan
Tak ku butuh berbasah, selalu ada payung.
Apalah, kota rantauku hanya punya gedung pencakar langit dengan sungai keruh di belakangnya.
Tak ada sawah yang rindu bulir bening pemberian tuhan dari langit.
Lalu, hujan hanya hujan.
Desember, seharusnya masih hujan.
Surat kabar lokal sudah ibarat peramal serba tahu, el nino kambuh merebak di sepetak kecil bumi yang bahkan tak terbaca peta.
Tak satu manusiapun paham obrolan semua langit dan penghuninya.
Ada sepelik alasan hingga mungkin hujan tunduk kalah padanya yang lebih rindu bumi nya.
Matahari, dengan sejuta pesona saat memulai fajar dan keanggunan senja magic hour.
Januari, harusnya beraroma hujan.
Dengan padi yang mulai tumbuh hijau
Tanah becek yang yang mengotori sepatu anak-anak yang berangkat sekolah.
Gemericik air beriak di parit-parit kecil samping rumah
Nyanyian  kodok yang bersahutan setiap akan adzan magrib.
Tapi tidak, Januari terasa asing dengan aroma musim panen.
Boleh saya tertawa sejenak?
Alam  paham waktu harus terlewatkan dengan segera.
Agar seonggok kecewa di masa lalu lenyap, tersapu hujan, melayang, hilang mengakasa, kembali  ke empunya.
Demikian, hingga hujan mengerti kapan harus kembali.
Menghujani tanah kering berdebu, menghidupkan tawa riang bocah, membangkitkan aroma yang semestinya.
Aroma hujan yang mencintai tanahnya.
Atau tidak pernah sekalipun.

Makassar-Bima, Awal tahun.

2015



bagaimana pun bentuk, rupa, rasa, dan aroma, kenangan tetaplah pembelajaran yang tak disuguhkan di papan tulis atau slide power point. setegar apapun ingin di lenyapkan, remahannya akan tetap mengakar di sudut hati.

Januari-Pebruari
Masih bergejala sisa stase kegawatdaruratan. Dinas terakhir yang perih. Helm mahal hilang diparkiran rumah sakit. Next, stase manajemen. Welcome to the sesepuhnya jungle mahasiswa profesi. Abaikan suara-suara manis yang mengatakan “santai ji kalo masukmi manajemen. Dari semua stase, paling santai mi itu manajemen. Bikin papan struktur jiko itu nanti”. Dan, jreng..jreng. emosianal semua tumpah ruah di stase ini. Bergadang hingga jam 5 pagi, asem manis pait dinamika bekelompok. Dan jadilah produk kami, skripsi edisi sekian-sekian. Tapi tunggu, observer lebih senang menyebutnya tesis. “Tugas S2 itu yang ko semua kerjakan”. Ya, apalah, yang penting melewatkan stase ini dengan napas yang masih di badan. Lalu kembali harus menata hati, helm (kali ini masih status helm pinjaman) hilang lagi.

Maret-April-Mei
Yuhuu.. stase komunitas keluarga gerontik. Kami menyebutnya KKN jilid 2. Kembali beposko ria, dan berproker ria. Stase yang seumur hidup rasanya ingin sekali dilupakan. Well, saya tak mau menceitaknnya (berbagi aib itu tidak baik, bukan).

Juni
Selamat tinggal dunia profesi. Menutup seluruh rangkaian stase profesi. Tujuh minggu terakhir yang (emm, berasa lama dari noraml sih pastinya). Berminggu-minggu merawat luka, mengganti balutan luka pasien. Trus, luka hati aku aku kapan dirawat, kapaan diganti balutannya? Nah loh, kok baper. Oke fokus, aroma luka yang sampe kebawa ke kamar indekost. Bau adalah pembawa sugesti, kenangan dan rindu yang kuat. Mungkin itu dulu kenapa saya lama move on karena aroma parfum mu yang sering bikin dejavu. Lanjut, seminar kasus, jurnal, kompre, dan laporan (baca: skripsi edisi sekian sekian sekian) selesai. Helaan nafas pertama setelah program profesi berakhir, beda, rasanya kok enteng banget ya.
Masih juni,
Ceritanya refreshing ala back to nature. H-2 muncak. Modal nekat dan balas dendam atas penat 15 bulan terakhir. Jadilah kami berdelapan, 5 cewek, 3 cowok, 6 calon ners, 2 calon sarjana teknik (baca: terancam kaya bede). Sebelum mulai dengan menanjak dengan jalan kaki, kami harus menanjak dengan motor. Belokan paling ekstrim yang pernaj saya jumpai, tanjakan curam menguras adrenalin. Belum selsai belokan kanan, eh harus belok kiri dengan kecuraman sampai 90ยบ (entahlah, nilai matematika saya bagus sampe jaman SMP doang). Di tiap tikungan selalu ada tulisan arab yang melafadzkan nama Allah. Adrenalin kok kayak makin kenceng ya. Tetiba teringat kisah orang-orang sebelum meninggal bagaimana mereka mempunyai firasat. Ah, pikiran saya mulai aneh. Tidak, ini bukan firasat aneh-aneh. Itu cumin prasasti anak KKN. Anggap saja mereka ingin berbagi do’a dengan para calon pendaki yang melewati jalan ini. Berjam-jam, akhirnya tiba pemukiman warga, posko pemeriksaan barang bawaan. Tempat pertama yang kami cari mushola. Saya suka rombongan ini.
Bismillah, time for nanjak gaess. Sepanjang pendakian (sebelum oksigen otak menurun, asma kambuh, ransel bermigrasi ke bahu lain, dan badan terhempas ke tanah) kami sediki mengobrol tentang prasasti yang ditinggalkan anak KKN tadi.
“ih gank, takutku mi, ku kira saya ji yang lihat itu tulisan. Bilanga, mauma mati kapang inie”
“saya juga na, lain-lainmi perasaan ku baca itu tulisan”
“weee, astaga. Saya juga. Mauka berteriak tanya ko semua. Jangan sampai sayaji yang lihat”
Tawa renyah kami dengan lollipop di mulut yang baru terbuka bungkusannya akhirnya dapat respon dari ketua rombongan. “weee, jangko semua banyak kasi keluar tenaga mu, simpan buat nanjak, tepar ko nanti”. Dan true, belum seperempat perjalanan saya sudah tepar. Keringat dingin muka pucat, napas yang tak sampai di paru-paru, mungkin pun tak terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida di alveoli, terasa tak bernapas. Pandangan yang agak kabur, tenggorokan serasa sedang puasa ramadhan. Entah berapa kali harus istrahat karena saya, tas punggung tentu sudah berpindah bahu. Maafkan saya teman.
Tiba kita di posko terakhir. Mari bangun tenda, mari masak, mari ambil air. Lebih tepatnya sih silahkan bangun tenda, sini saya bantu masak dikit, sini saya bantu ambil air. Haha. Tapi dua calon manusia terancam kaya ini malah mempersilahkan kami naik ke puncak. Bahagianya punya partner mendaki yang sifatnya kayak gini. Lebih kurang setengah jam mendaki dengan sisa tenaga terkahir, kami bisa menikmati sunset di 1232 mdpl. Agak kagok sih, speechless, pertama kali melihat awan terapung jauh di bawah posisi kami. Esok paginya sebelum pulang kembali melewati liku-liuk aspal dengan hiasan prasasti anak KKN kami berdelapan sama-sama nanjak ke tugu 1232 mdpl. Perfect time. Formasi lengkap. Puncak yang dingin beraroma langit. Maka nikmat tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?

Juli
Ramadhan 29 hari masih di kota rantau. Ada yang spesial? Lupa. Hanya sibuk mondar-mandir di kampus mempersiapkan berkas wisuda. Pulang kampung dulu boleh kali yak. Ramadhan hari terakhir, buka puasa terakhir bersama keluarga.

Agustus
Tahun ini alam seperti tahu ia rindu kepada siapa. Bima juga punya puncak yang indah nan dingin. Di 1050 mdpl dengan padang savanna yang subur. Terlihat jelas bahkan dari halaman rumahku. Seperti biasa, penyakit “merepotkan” itu kembali kambuh. Rombongan ini lumayan gemuk. Kami berbelas-belas. Dewi fortuna lagi, ada dua manusia  “terancam kaya” bersama kami. Sedikit menantang dengan perjalanan malam. Kami tiba di puncak pukul 11 malam. Dingin menggerogoti seluruh tubuh, terjaga hingga pagi. Dua malam tiga hari yang luar biasa.
Beberapa orang pernah bertanya. Ulf suka mendaki? Bukan suka sih, karena ada kesempatan aja. Kesempatan? Yap, kebetulan lagi free, ada temen yang ngajak, ada tempat bagus yang belum didatangi. Seru? Sangat. Puncaknya? Bukan, tapi perjalanannya. Kok? Emang sih puncaknya yang jadi tujuan, tapi setelah kembali ke bawah justru perjalananya yang paling berkesan. Keindahan puncak itu semacam bonus. Kadang kita menghujat proses yang pedih, tapi setelah tujuan kita tercapai, proses lah yang akan sangat kirta hargai. Superrr. Hahaha

September
Toga ke tiga, penyumpahan ners. Toga ke empat wisuda ners. Euphoria toga kayak biasa kok ya? Mungkin karena aku tidak sempurna mengucapkan sumpah ners. Haha
Mengikutsertakan diri on job training di rumah sakit kampus selama tiga bulan. Bimbingan ujian kompetensi. Jadilah saya terlempar dari rumah sakit ke kampus atau sebaliknya. Dalam waktu bersamaan saya butuh magang, saya harus penyumpahan, harus wisuda, dan kami adalah pejuang STR. Serasa jadi mahasiswa baru kembali. Terlempar sana-sini dengan schedule full. Setelah ujian kompetensi, saya kembali magang dengan damai.

Oktober-November
Setiap menyaksikan kecanggihan alat buatan manusia pengganti ginjal. Tapi bukan itu yang menarik perhatian ku. Karakter pasien dan keluarga mereka yang mendampingi. Istri yang sabar dan tegar mendampingi suaminya yang cuci darah, anak yang terkadang harus bolos kuliah untuk menemani ibunya cuci darah, atau orang tua yang tegar melihat darah yang keluar dari tubuh anak gadisnya lalu masuk ke selang-selang di mesin lalu masuk kembali ke tubuh sang anak. Mereka cuci darah buka berhari-hari. Sudah berbulan-bulan bertahun-tahun. Bukan berkali-kali, berpuluh kali, beratus kali. Seolah hidup mereka diperantarai oleh ginjal buatan ini oleh tuhan.

Desember
Aroma melankolis memang menyukai mula menjelang akhir. Seperti hujan sore atau sakit hati bulan desember. Entahlah, desember yang pelik dan rumit. Saya butuh pengalih, bukan quotes bijak anti galau. Ada sisa gejala horror yang telah terbawa sejak November. Kecewa, benci, marah, berkecamuk tak terkendali. Kenapa, kenapa, kenapa dan milyaran pertanyaan yang tak butuh jawaban menghipnotis alam bawah sadar. Iya, saya sedang berduka. Waktu adalah sebaik-baiknya obat sakit hati, hingga pada fase berduka terakhir. Ya, penerimaan. Skip Desember, please. Tak ada list resolusi special di 2016. Kalo boleh negjiplak, “akan tiba waktunya kita harus sibuk-sesibuknya untuk sukses sesuksesnya, agar beberapa paham penyesalan bisa saja datang bersama perpisahan” (@wiranagara).