Welcome
November. November rain, November ceria dan nama manis untuk bulan menjelang
akhir tahun ini. Apalah November, sosok perempuan dalam cerita ini hanya ingin
segera meng’skip’kan Novembernya.
Sebab penggiring lupa hanya lah waktu. Sebut saja perempuan itu “aku”. Jangan
terlalu serius, ‘aku’ hanya label semata. Segala kisah dan kejadian berikut
bisa saja dari pengalaman pribadi, pegalaman orang terdekat, atau hanya
sepintas imajinasi yang terkesan klise. Sekali lagi, jangan terlalu serius.
Hari
pertama November di kota kecil ini dihiasi petrichor
di seluruh sudut kota. Gerimis pertama menerbangkan bakteri Actinomycetes, mengembangkan senyum
setiap penumpang angkot. Sebagia merek melihat ke luar jendela. Beberapa mereka
yang berada di dalam gedung keluar mengitip buliran air langit itu. Betapa
hujuan menyebar cinta dan kebahagian. Menenangkan melihatnya.
Aku
pun salah satu dari mereka. Memandang hujan dari balik kaca jendela kantor. Jam
pulang kerja ku ulur beberapa waktu hingga langit berdamai dengan bumi. Aku tak
bawa payung hari ini. tak terduga jika hujan akan tumpah di senja awal
November. Headset handphone masih
terpasang di kedua telingaku. Sudah satu jam. Aku sedang mengobrol dengan
seseorang yang seperti sedang mencincang jantungku. Agak berlebihan memang.
Seorang
pria yang berkali-kali mengatakan cinta, sayang dan segala ucapan manis
lainnya. Pria yang katanya sangat berharap menua bersama ku, pria yang sedang
berjuang meyakinkan keluarganya bahwa telah mampu membangun rumah tangga. Nah, bagaimana
aku tak luluh. Tapi kali ini ia seperti sedang menusuk organ jantungku dengan
rusuknya. Percakapan kami beberapa waktu lalu tak ubahnya guntur sore ini yang
membelah langit.
“Maaf
menyampaikan kabar buruk untukmu. Kabar yang pasti tak ingin kau dengar. Maaf
karena aku memberimu beban pikiran hari ini. demi tuhan, berhari-hari aku telah
memikirkan untuk mengatakannya. Baru kali ini aku punya nyali untuk jujur.
Kemungkinan buruk pun aku telah siap.”
“Serius
amat. Ada apa?”
“Dia
menghela napas panjang. Beberapa detik hening.”
“Aku
tak sebaik yang kamu kira. aku pernah melakukan kesalahan besar nan fatal di masa lalu, sebelum kita bertemu.”
“Sudah
pernah?”
“Iya,
dulu. Saat aku bodoh. Tapi percayalah, aku tidak akan melakukannya lagi . Ini aku seperti
yang kamu kenal sekarang.”
“Tunggu, kesalahan besar apa, kesalahan fatal apa?
(disensor
saja ya, dibaca pun rasanya tak layak. Terlalu hina.)
Suara
ku tetiba hilang. Dia tak perlu menjelaskan detail. Aku paham dari semua kata
yang terlontar darinya.
Reflex
jariku mematikan handphone. Ah, aku
tetiba tremor. Seluruh sendi tak
berasa. Nafas terasa sesak. Rasanya pedih, Guntur semakin menggelegar. Bahkan
alam murka pada mu. Bagaimana hanya aku yang tak punya kuasa apa pun. Meski itu
masa lalumu, kau tumbuh dan bernafas padanya.
Ah,
terbayang sepenggal beberapa film melankolis beberapa waktu lalu. Mungkin aku
akan seperti sosok Asmara, yang dengan kekuatan hati mengatakan tidak untuk
kembali kepada kekasihnya setelah kekasihnya melakukan hubungan terhina dengan
perempuan lain. Meski kekaksihnya telah berjuang membuktikan bahwa ia hanya
khilaf dan hanya Asmara yang ia cintai. Atau mungkin seperti Arini. Ah tidak,
detik ini aku tak sanggu menjadi Arini. Tak sanggup memiliki kesabaran hati
yang luas menerima pasangan dengan “kecacatannya” terlebih menyangkut perempuan
lain. Tidak. Aku hanya perempuan biasa yang gampang kecewa dengan orang yang
sudah dipercaya.
Di
luar hujan semakin menggelgar. Langit mulai menghitam. Apa daya matahari yang
sementara merangkak, tak mampu memesona. Ah, tubuhku serasa lemah. Bibir dengar
getaran tak beraturan menyebut nama Tuhannya.
Kaca
jendela buram oleh embun hujan sore. Tetiba notifikasi
pesan singkat mu menyapa ponsel ku.
“Dengan segenap
kerendahan hati aku hanya bisa minta maaf. Bukan karena apa yang telah aku
lakukan, karena hanya tuhan yang berhak menghakimiku. Tapi karena waktu yang
mungkin tidak tepat. Dan akan lebih tidak tepat jika aku menundanya.
Percayalah, tidak ada satu lelaki pun yang akan mengatakan aibnya kepada wanita
jika ia tidak sangat mencintai dan menyayanginya. Aku lebih dari itu kepadamu.
Kembali pada mu bagaimana menyikapi ini. aku telah siap dengan kemungkinan
terburuk sekalipun kau jijik padaku.”
Tak
perduli dengan pesan singkatmu, beberapa detik menjelang hujan reda aku hanya
ingin seperti tak pernah mengenalmu. Mungkin aku terlalu tidak perduli dengan
hidup kehidupan versi dunia masa
kini. Segala kebobrokan, hal keji yang melanggar norma sudah hal biasa. Pernah
melakukannya menjadi hal yang biasa. Selanjutnya minta maaf dan bisa saja
kembali melakukannya atau pun bertaubat. Teringat obrolan ku dengan sepupu
beberapa hari lalu tentang salah satu tetangga dekat yang baru saja melahirkan
anak pertamanya.
“Sudah
melahirkan? Cepet amat. Nikahnya lho baru empat bulan lalu.”
“Biasa
aja kali ekspresimu. Tidak perlu kebangetan gitu kagetnya.”
“Aduh
mbak, wajar aku kaget. Dia kan perempuan baik-baik, bependidikan, agamanya bagus.
Tidak mungkin bisa kajadian seperti ini.”
“Perempuan itu juga manusia. Manusia.”
“Kok
mbak biasa aja, kaget pun tidak.”
“Agak
kaget sih awalnya. Buka matamu, lihat disekitarmu. Dunia semakin bobrok.
Kejadian seperti ini bukan 1 dari 100 pasangan. Tapi 90 dari 100 pasangan.”
“Mbak
berlebihan.”
“Kenyataanya
seperti itu.”
“Orang
rumah kok tidak ada yang nyinggung ya.”
“Tidak
ada yang berani menyinggung, sebab mereka hanya akan menjilat ludahnya sendiri.”
“Maksudnya
mbak?”
“Bisa
saja kejadian yang sama menimpa anak mereka. Karena jaman sekarang hal keji
macam itu bisa-bisa aja terjadi.”
Sudah
sebobrok ini kah dunia Mu, Tuhan? Atau aku yang terlalu menutup mata dan
telinga pada gejolak zaman? Aku hanya tau hal baik-baik saja, memang. Terlahir dari
keluarga sederhana, dengan keluarga besar yang biasa-biasa saja tanpa masalah
yang berarti, tetangga yang baik dan ramah. Sekolah dengan sewajarnya, masuk
perguruan tinggi negeri, teman kuliah pun adem
ayem saja. Sarjana tepat waktu, lalu bekerja untuk materi di masa depan. Sial,
sungguh flat ternyata hidupku.
Hape
ku berdering sekali lagi. Oh sungguh, pesanmu kali ini sangat singkat.
Maaf.
Ya
tuhan, nafas ku rasanya semakin sesak. Aku sangat percaya janjimu, jodoh adalah
cerminan diri. Wanita baik untuk lelaki baik. Begitu pun sebaliknya. Beberapa
mereka juga menambahkan, meski keduanya pernah sama-sama buruk. Kalau salah
satunya bagaimana?
Sekali
lagi, aku terjebak dalan zona apa adanya, tau lebih tepat menjebakkan diri. Lalu
kali ini aku bisa apa. Mulai meng”apa
adanya”kan diri. Mulai berbesar hati, menerima dengan lapang, ikhlas
setelah menangis tiap malam seminggu, meremas-remas kertas lalu melemparnya ke
tembok entah untuk berapa malam, menatap diri di depan cermin sembari menghujat
dalam hati ada salah ku di masa lalu? Ada? Tak akan ku bertanya pada Sang
Pemilik Hati, cukuplah Ia yang membolak-balikkan hati ini hingga sepenuhnya
ikhlas itu ada.
Terakhir,
masih di November kah kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar