Hari
ini ku ingat sang malam. Dengan segala kegelapannya. Kau tahu?
sang malam bergerimis. Gerimis kasar dan berbadai. Langit terlihat
suram. Awan pun tak becahaya. Lebih-lebih teman kecil kita, si
bintang, ia takut menampakkan diri. Katanya sang malam tak
menginginkan kehadiranya. Hmm,, si pemalu itu masih saja sama. Oh ya,
bulan juga sama. Ia pelit menampakkan purnamanya. Dimensi memang
sedang ekstrim, bersama sang malam.
Miris.
Sang malam kini selalu suram. Aku hanya bisa membelainya lewat
jendela kamarku yang tak bertirai. Hitam. Gelap. Sang malam
mengacuhkan ku. Embun yang singgah di jendela kamarku singkat
berbisik.
Katanya,
“hey, kau rindu malam mu?”
“Tentu
saja”. Jawabku.
“Trus,
apa yang akan kamt lakukan?”
“Tak
ada. Aku hanya akan menunggu malam ku. Ku biarkan ia sekarang bermain
dengan kamu, gerimis, ataupun badai sekalipun. Malam ku tetap indah.
Hanya perlu senyum si bintang kecil dan cahaya
purnama untuk mendekorasi malamku. Ada waktunya. Tidak sekarang.”
“Bodoh,
sebeantar lagi pagi. Kau akan meninggalkan malam mu. Fatamorgana
menanti mu”.
Ku
hanya senyum kecil.
“Pagi
memang akan segera tiba. Aku akan menikmati hangatnya mentari dengan
mata terpejam. Fatamorgana terlalu silau untuknya. Dan biarkan ku
tatap langit biru dalam bayang. Bagiku kegelapan itu indah. Karena
aku akan selalu bersama sang malam ku dalam gelap.”
“Dan
kau, wahai embun. Kaupun akan lenyap oleh pagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar