Ayah, Aku Patah Hati
“Wajanya
masih datar, Yah. Masih teduh, kosong
tapi…”
“Tapi
apa sayang?”
“Tapi
rumit. Selalu datar. Saya tak pernah sedikit pun membaca hati dan pikirannya
melalui wajah cueknya.”
“Sayang,
pastinya kamu tidak bisa membaca hati dan pikirannya jika hanya melalui gambarnya.”
“Ah,
ayah..!!” Aku menyandarkan kepala ku ke pundak pria yang sangat aku hormati
dengan nada manja.
Ayah,
pria pertama yang aku sandarkan kepala ku di bahu dan dadanya setiap kali dunia
terasa kejam dan pahit. Wangi khas tubuhnya terasa melekat dalam penciuman ku.
Tak sedetik pun aku lupa wangi beliau. Ayah sering kali menggodaku, “lalu, mana
pria lain yang akan kamu sandarkan kepala mu?”
Pundak
ayah kenapa? Apa mulai lelah dengan sandaran ku?
“Tidak
selamanya kamu akan bersandar di pundak ayah. Akan tiba waktunya kamu butuh
pundak pria lain. Anak ayah kan sudah dewasa”. Ayah usil sembari mencubit
hidungku.
“Hampir
Yah, hampir ada. Dia yang wajahnya
teduh, datar, dan kosong”. Kali ini aku serius.
“Hampir?
Lalu?” Ayah juga terlihat lebih serius kali ini.
“Entah
lah, Yah. Tidak pernah ada permulaan.
Jadi tidak bisa saya katakana telah berakhir pun.”
“Siapa
dia sayang? Apa ayah mengenalnya?”
“Ayah
tidak mengenalnya. Bahkan saya pun tidak sepenuhnya mengenalanya. Dia hanya seorang
kenalan di masa lalu. Tapi kami cukup sering bertemu dalam tengah malam. Ah,
itu pun jikan saya terlelap untuk memejamkan mata.”
“Sejauh
mana ia mengenalmu, sayang?” Ayah mulai membelai rambut panjang ku,
“Miris,
Yah. Dia hanya tau nama lengkap ku
dan nama ayah. Itu pun karena ia melihat nama ku di daftar absen di sekolah.” Mata
ku pun mulai berkaca-kaca. “Aku rindu ayah”. Aku memeluk beliau erat bersama
tangisku yang pecah. Ayah membalas pelukku. Mencium kening ku beberapa kali. Beliau
sangat tahu ketika aku merajuk seperti ini adalah saat-saat sulit ku.
Hening.
Beberapa saat hanya suara desiran angin yang membawa terbang dedaunan kering. Setelah
lelah menumpahkan air mata, aku mulai membuka mata ku. Masih dalam dekapan
hangat ayah. Aku mencoba memandangi sekeliling. Banyak pohon beringin tua,
denan tanah yang dipenuhi rumput yang tidak begitu terawat. Bau tanah selepas
hujan tadi pagi begitu terasa, bercampur dengan bau khas rumput hijau. “Akh,
kenapa tempat ini begitu sunyi.” Bisikku dalam hati.
“Anak
ayah sudah puas nangisnya?” Suara ayah rasanya begitu hadir tiba-tiba dan
mengagetkan ku.
“Yah,
anak mu patah hati. Nada suara ku kembali merajuk.”
“Karena?”
“Ada
rasa sakit saat cinta itu tidak aku dapatkan. Sakit Yah, bahkan air mata pun rasanya tidak sebanding dengan apa yang
aku rasa.”
“Apa
tidak berlebihan sayang?”
“Mungkin
Yah. Bukankan roman picisan memang
selalu dengan kisah yang berlebihan?”
“Lalu,
di mana dia? Dimana si empunya wajah teduh dan datar itu? Bagaiamna dia
sekarang?”
“Ayah
bertanya pada ku? Justeru aku selalu bertanya pada Dia yang Maha Tahu tentang
itu. Tak ada lelah ku bertanya,Yah.”
Aku
hanya mendengar ayah menghela napasnya dengan begitu panjang. Aku tahu, ayah
sedang berpikir keras untuk menenangkan pikiran anak gadisnya yang keras kepala
ini.
“Ah,
sudahlah Yah… dengan berada di
pelukan mu seperti ini, tiada lagi pria mana pun yang lebih hebat selain ayah. Melupakan
dia yang tak pernah mengingatku tidak akan jadi hal rumit. Hanya butuh waktu
dan sedikit kesibukan, kesibukan merindukan yang lain. Bukan kah ayah pernah
mengatakan itu sebelumnya. Patah hati juga bukan perasaan langka yang harus dilebaykan. Aku tak akan jadi anak cengeng
mu ayah, yang akan menangis dan bermelankolis jika harus patah hati. Cukuplah aku
menggila karena patah hati atas kepergian mu, Ayah ku.”
Desiran
suara angin kembali ku dengar, kali ini lebih keras. Beberapa helai daun
mendarat di kerudung hitam ku yang tersandar di bahu. Masih sunyi. Tak ada
ayah. Hanya segundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan kecil di depanku. Aku mulai
menyiraminya dengan air dari botol air mineral yang kubawa. Ku taburi beberapa
bunga. Ku elus lembut batu nisan yang bertuliskan nama ayah ku.
Sepenggal
kalimat terngiang di kepala ku bersama tenggelamnya senja:
“Sayang, cobalah
berwudhu, lalu bentangkam sajadah dan katakan pada Sang Pemilik Cinta, kau
mencintainya.”
Ayah
baru saja membisikkanya.
By @ulfayasin
Makassar, 23 June 2014