Minggu, 22 Juni 2014

Cerpen --> Ayah, Aku Patah Hati

Ayah, Aku Patah Hati
“Wajanya masih datar, Yah. Masih teduh, kosong tapi…”
“Tapi apa sayang?”
“Tapi rumit. Selalu datar. Saya tak pernah sedikit pun membaca hati dan pikirannya melalui wajah cueknya.”
“Sayang, pastinya kamu tidak bisa membaca hati dan pikirannya jika hanya melalui gambarnya.”
“Ah, ayah..!!” Aku menyandarkan kepala ku ke pundak pria yang sangat aku hormati dengan nada manja.
Ayah, pria pertama yang aku sandarkan kepala ku di bahu dan dadanya setiap kali dunia terasa kejam dan pahit. Wangi khas tubuhnya terasa melekat dalam penciuman ku. Tak sedetik pun aku lupa wangi beliau. Ayah sering kali menggodaku, “lalu, mana pria lain yang akan kamu sandarkan kepala mu?”
Pundak ayah kenapa? Apa mulai lelah dengan sandaran ku?
“Tidak selamanya kamu akan bersandar di pundak ayah. Akan tiba waktunya kamu butuh pundak pria lain. Anak ayah kan sudah dewasa”. Ayah usil sembari mencubit hidungku.
“Hampir Yah, hampir ada. Dia yang wajahnya teduh, datar, dan kosong”. Kali ini aku serius.
“Hampir? Lalu?” Ayah juga terlihat lebih serius kali ini.
“Entah lah, Yah. Tidak pernah ada permulaan. Jadi tidak bisa saya katakana telah berakhir pun.”
“Siapa dia sayang? Apa ayah mengenalnya?”
“Ayah tidak mengenalnya. Bahkan saya pun tidak sepenuhnya mengenalanya. Dia hanya seorang kenalan di masa lalu. Tapi kami cukup sering bertemu dalam tengah malam. Ah, itu pun jikan saya terlelap untuk memejamkan mata.”
“Sejauh mana ia mengenalmu, sayang?” Ayah mulai membelai rambut panjang ku,
“Miris, Yah. Dia hanya tau nama lengkap ku dan nama ayah. Itu pun karena ia melihat nama ku di daftar absen di sekolah.” Mata ku pun mulai berkaca-kaca. “Aku rindu ayah”. Aku memeluk beliau erat bersama tangisku yang pecah. Ayah membalas pelukku. Mencium kening ku beberapa kali. Beliau sangat tahu ketika aku merajuk seperti ini adalah saat-saat sulit ku.
Hening. Beberapa saat hanya suara desiran angin yang membawa terbang dedaunan kering. Setelah lelah menumpahkan air mata, aku mulai membuka mata ku. Masih dalam dekapan hangat ayah. Aku mencoba memandangi sekeliling. Banyak pohon beringin tua, denan tanah yang dipenuhi rumput yang tidak begitu terawat. Bau tanah selepas hujan tadi pagi begitu terasa, bercampur dengan bau khas rumput hijau. “Akh, kenapa tempat ini begitu sunyi.” Bisikku dalam hati.
“Anak ayah sudah puas nangisnya?” Suara ayah rasanya begitu hadir tiba-tiba dan mengagetkan ku.
“Yah, anak mu patah hati. Nada suara ku kembali merajuk.”
“Karena?”
“Ada rasa sakit saat cinta itu tidak aku dapatkan. Sakit Yah, bahkan air mata pun rasanya tidak sebanding dengan apa yang aku rasa.”
“Apa tidak berlebihan sayang?”
“Mungkin Yah. Bukankan roman picisan memang selalu dengan kisah yang berlebihan?”
“Lalu, di mana dia? Dimana si empunya wajah teduh dan datar itu? Bagaiamna dia sekarang?”
“Ayah bertanya pada ku? Justeru aku selalu bertanya pada Dia yang Maha Tahu tentang itu. Tak ada lelah ku bertanya,Yah.”
Aku hanya mendengar ayah menghela napasnya dengan begitu panjang. Aku tahu, ayah sedang berpikir keras untuk menenangkan pikiran anak gadisnya yang keras kepala ini.
“Ah, sudahlah Yah… dengan berada di pelukan mu seperti ini, tiada lagi pria mana pun yang lebih hebat selain ayah. Melupakan dia yang tak pernah mengingatku tidak akan jadi hal rumit. Hanya butuh waktu dan sedikit kesibukan, kesibukan merindukan yang lain. Bukan kah ayah pernah mengatakan itu sebelumnya. Patah hati juga bukan perasaan langka yang harus dilebaykan. Aku tak akan jadi anak cengeng mu ayah, yang akan menangis dan bermelankolis jika harus patah hati. Cukuplah aku menggila karena patah hati atas kepergian mu, Ayah ku.”
Desiran suara angin kembali ku dengar, kali ini lebih keras. Beberapa helai daun mendarat di kerudung hitam ku yang tersandar di bahu. Masih sunyi. Tak ada ayah. Hanya segundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan kecil di depanku. Aku mulai menyiraminya dengan air dari botol air mineral yang kubawa. Ku taburi beberapa bunga. Ku elus lembut batu nisan yang bertuliskan nama ayah ku.
Sepenggal kalimat terngiang di kepala ku bersama tenggelamnya senja:
“Sayang, cobalah berwudhu, lalu bentangkam sajadah dan katakan pada Sang Pemilik Cinta, kau mencintainya.”
Ayah baru saja membisikkanya.

By @ulfayasin
Makassar, 23 June 2014