Sabtu, 22 November 2014

Cerpen belum berjudul

Rinduku hebat dan dan bersyarat. Rinduku adalah dendam. Harus kau balas cepat atau lambat. Satu dekade aku merindukanmu, satu dekade pula kau harus membalas kembali meridukanku. Cam kan itu, teman lama.

Gerimis. Tetapi atmosfer seakan membakar bumi. Langit bergemuruh seperti akan pecah berkeping-keping dan mengujam bumi. Tetesan air sisa hujan sore tadi seperti air keras yang membakar habis semak belukar.

Hening. Aku hanya bisa merasakan desiran darah yang hebat dalam nadi ku. Seiring denyut jantung yang sudah tak mampu ku hitung. Tatapan kosong mataku hanya menjurus pada adegan sepasang muda mudi yang baru saja mendeklamirkan diri mereka dengan status baru. Kekasih.

Hey, aku hanya paham adegan sperti ini di ftv. Haram bagiku mempercayai yang sedang ku lihat ini adalah adegan di dunia nyata. Di depan mata ku. Oleh orang yang harusnya bisa ku kenal lebih dekat.
Sungguh, saraf ku terasa mati. Aroma tanah sisa hujan hambar. Angin yang masih menerbangkan gerimis sungguhlah tidak terasa. Meski sebagian pakaian terlihat titik tetesan air. Aku hanya merasa ada kita bertiga di tempat itu.

Gelap. Terasa hanya ada dua sorotan lampu pentas kepada dua orang yang tengah memuja satu sama lain dan seorang yang berdiri menatap nanar kisah yang seharusnya tidak terjadi. Aku. Bumi serasa bermagnet hebat. Tak se inci pun kaki bisa ku angkat. Ingin rasanya berlari menuruni lereng dan menghilang di belahan bumi lainnya. Ya, seperti kisah di novel kesukaanmu.

Bibir danau kelimutu yang anggun menjadi saksi betapa aku lupa akan rumus kehidupan “kalau kita menyukai orang lain, maka tidak otomatis orang itu menyukai kita. Jangan egois, jangan GR” dan segala rumus kegalauan yang intinya membangunkan ku dari mimpi buruk yang ku indah kan sendiri, dari angan yang sejatinya tidak pernah ada, dari harapan yang sepenuhnya kosong, dari cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Tak ada air mata yang menetes di pipi yang merona oleh suhu dingin danau kelimutu. Terlalu tak bisa air mata memperjelas betapa tercabik-cabiknya hati. Hanya tak terdengar, raungan hatiku lebih keras dari guntur sore tadi. Kemudian aku hanya melihat dengan rinci bagaimana kau wahai pria idaman bergerak perlahan berlutut di hadapan wanita pilihanmu. Dengan wajah gagah meyakinkan, mengeluarkan cincin dan perlahan mengatakan “jadilah istriku”.
Tuhan, cabut nyawa ku detik ini juga.

Danau kelimutu adalah salah satu destinasi impian ku sejak dulu. Saat ini adalah kesempatan emas untuk mewujdkannya. Desninasi yamg belum seindonnesia tahu betapa tuhan maha sempurna menciptakan alam untuk para mahluknya.
Bersama kalian sahabat-sahabat lama, para backpacker pemula, fotografer pemula, pecinta alam pemula. Terpisah oleh kesibukan akademik di perguruan tinggi yang terpisah oleh laut dan selat, kini kita berkumpul tempat tongkrongan favorit jaman seragam putih abu-abu. Anjungan pantai yang remang-remang selepas senja bersama cangkir-cangkir kopi yang hampir tak bersisa bersama kita petang ini.

Perjalanan ke kelimutu murni dadakan. Dua hari setelah kumpul-kumpul singkat di anjungan remang-remang kami memutuskan menjenguk danau tiga warna yang elok itu. Saat di anjungan saya sempat bertanya pada didit, si fotografer kelas internasional wanna be,
“Kok buru-buru amat, Dit? Kita ga ada kenalan di sana. Ke sananya gimana? Udah ada yang pernah pergi gitu? Belum ada persiapan nih. Ribet ah..”
“Bawel..!! kamu yang ribet. Lha tinggal pergi aja. Naik mobil, nyebrang, naik mobil lagi, mendaki bentar, nyampe kita.”
“Tapi butuh persiapan Dit.!” Aku agak sedikit meajuk.
“Dasar cewek ya. Ribet mulu bawaannya. Kita gak nyampe seminggu di sana.” Didit tampak mneghela napas beberapa kali.
“Maklum napa dit. Aku kira bakal semingguan atau dua minggu lagi”
“Riri bawel, dengar bro mu ini baik-baik. Kita pergi dadakan, bener. Kenapa? Akan ada peristiwa besar yang akan terjadi nanti di sana.”
“Apa?”
“LAMARAN..!!!” TITIK.

Aku hanya mampu mengingat sepenggal percakapan ku dengan Didit. Lamaran yang dimaksud Didit ternayata yang kini ku saksikan di depan mata. Dalam hati aku hanya mampu menertawai diri sendiri. Rasa GR ku selangit yang menduga lamaran yang dimaksud Didit adalah lamaran dia untuk ku. Iya, harusnya memang untuk ku. Cincin itu, mawar biru itu. Hey, pantasnya itu untuk ku.  Dia sudah banyak mengisyaratkan bahwa ia ada rasa yang mungkin itu cinta untuk ku.

Aku masih berdiri kaku. Mencoba menata kedipan mata, memperbaiki urat wajah dan garis bibir. Mengontrol hati seindah mungkin. Beberapa lirik lagu simfoni hitan  sherina menari gemulai di depan mata ku. Nyata aku bisa membacanya. Lagu tersendu yang menggambarkan kisah hidup manusia malang seperti ku pada situasi yang menjerumus.

Gerimis masih setia. Suhu udara semakin rendah. Senja hampir tiba. Detik-detik kebanggaan mu.
Seperti senja gerimis juga 2 tahun lalu. Saat kita masih sama-sama adalah pmahasiswa tingkat akhir. Pertemuan terakhir sebelum hari ini tiba. Ceritacerita indah dari sepupumu yang membeyatku bertahan dengan me.mendam cinta yang teramat sangat. Tidak berubah sedikitpun.
“Udah len, aku nyerah”
“Nyerah? Riri?” Lena menatapku dengan sorotan mata encaman, entah.
“Ga bisa len. Aku capek. Mungkin dia suka sama orang lain. Atau mungkin dia sudah punya kekasih. Siapa yang tau.”
“Lama kamu perjuangkan semua nya dan tibatiba nyerah gitu aja?”
“Len, catet. Aku ga pernah memperjuangkan apa pun. Semua terjadi begitu saja. Suka sama lawan jenis itu normal. Tak ada pengorbanan. “
“Ri, sini”. Nela mengatur posisi duduknya dengan lebih dekat dengan ku. “ada rahasia yang harus kamu tau.”
“Apa?”
“Dia juga suka sama kamu.”
“Omong kosong kamu Nel.”
“Beneran. Serius. Kamu tau ri, aku pernah ngobrol sama abangnya. Dan abnagnya pernah bialng, dia melihat foto cewek di dompetnya. Foto kamu. Abangnay juga bilang, kayakna dia suka sama salah seorang teman sekelasnya waktu SMA. Kamu riri. Itu kamu.”
“Gitu doing Nel? Dan aku harus percaya kalo dia suka sama aku. ?”
“Dengerin lagi Ri. Dia cemburu saat kamu pernah dekat sama temen kuliah mu, siapa lah itu namanya.”
“Ga cukup nel, semua yang kamu katakana tidak cukup membuat ku percaya kalo dia suka sama aku. Gak. Kecuali dia mengataknnya langsung.”
“Ngeyel kamu ya. Pokoknya jangan nyerah, aku yakin kalian berjodoh.”
Dan dalam hati aku sangat yakin. Ia, pria itu menyukaiku.

Gerimis pun masih. Senja tiba. Ada pesona baru. Pelangi. Sempurna pun bumi hari ini, bersama kehidupan baru untukmu dan dia, aku dan entah kisahku. Kemudian aku kembali tersadar setelah mengakhiri lirik simfoni hitam dan lamunan singkat dua tahun lalu. Kau masih menanti jawaban dari perempuanmu. Perempuanmu terlihat berkaca-kaca, senyum sumringah. Bisa kubayangkan betapa bahagianya ia saat itu. Lelaki hebat seperti mu berlutut dengan sungguh dan mengajaknya menghabiskan sisa hidup dalam suka duka bersama. Perempuanmu tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya berdiri merapakan kedua tangan nya. Sesekali menutupi wajah, mungkin ia masih tak percaya hari ini ia akan merasa sebahagia itu.

Langit semakin emas. Gerimis musnah perlahan terganti pelangi senja. Denting bellira pengantar lagu simfoni hitam masih berdenging di telingan ku. Sungguh tuhan, katakan jika saat ini aku hanya sedang tertidur. Sekali lagi, suara berat mu memuntahkan kalimat yang mengiris batin ku.
“Ratih, dengan penuh rasa harap aku meminta, jadiliah istriku. Jadilah perempuan yang terakhir ku lihat saat akan terlelap, perempuan pertama yang ku tatap saat terbangun di pagi hari. Mari kita berbahagia dalan rumah sederhana bersama anak-anak yang manis, mari kita menua bersama. Menjalani hari hari dengan indah. Setiap pagi kau mempebaiki ikatan dasiku saat akan berangkat kerja, dan menyambutku pulang kerja dengan senum yang meneduhkan. Demi tuhan Ratih, jadilah istriku. Aku sangat mencintaimu.”

Perempuanmu kali ini bernar berurai air mata. Ia terharu. Mengangguk kecil dan mengatakan “iya”. Satu kata yang menghujam jantung ku. Dan setelah itu tak aka nada kehidupan.
Satu detik berlalu. Langit mulai menggelegar, seakan terbelah. Bumi berguncang hebat dan memuntahkan isi perutnya. Melahap habis makhluk yang berdiri di atasnya. Bersamaan pula angin dengan liarnya memporak-porandakan apa pun yang ia temui. Setidaknya itulah yang aku rasakan.

Brukk..!!
Tiba-tiba tubuh ku terasa sakit, kepala ku nyeri. Aku membentur tanah.  Dan gelap. Denting bellira pembuka lagi simfoni hitam masih berdenting di telinga ku. Dan samar suara berat mu yang khas, “Astaga, Riri pingsan”.

**the end**



Rabu, 19 November 2014

SELAMAT ULANG TAHUN ^^

 Terimakasih untuk setiap do’a untuk saya. Sudah saya aminkan semuanya. Semua doa yang tercurah dari hati hati ikhlas yang telah mengingat hari indah ini. Makasih ^^