Rinduku
hebat dan dan bersyarat. Rinduku adalah dendam. Harus kau balas cepat atau
lambat. Satu dekade aku merindukanmu, satu dekade pula kau harus membalas
kembali meridukanku. Cam kan itu, teman lama.
Gerimis.
Tetapi atmosfer seakan membakar bumi. Langit bergemuruh seperti akan pecah
berkeping-keping dan mengujam bumi. Tetesan air sisa hujan sore tadi seperti
air keras yang membakar habis semak belukar.
Hening.
Aku hanya bisa merasakan desiran darah yang hebat dalam nadi ku. Seiring denyut
jantung yang sudah tak mampu ku hitung. Tatapan kosong mataku hanya menjurus
pada adegan sepasang muda mudi yang baru saja mendeklamirkan diri mereka dengan
status baru. Kekasih.
Hey,
aku hanya paham adegan sperti ini di ftv. Haram bagiku mempercayai yang sedang
ku lihat ini adalah adegan di dunia nyata. Di depan mata ku. Oleh orang yang
harusnya bisa ku kenal lebih dekat.
Sungguh,
saraf ku terasa mati. Aroma tanah sisa hujan hambar. Angin yang masih
menerbangkan gerimis sungguhlah tidak terasa. Meski sebagian pakaian terlihat
titik tetesan air. Aku hanya merasa ada kita bertiga di tempat itu.
Gelap.
Terasa hanya ada dua sorotan lampu pentas kepada dua orang yang tengah memuja
satu sama lain dan seorang yang berdiri menatap nanar kisah yang seharusnya
tidak terjadi. Aku. Bumi serasa bermagnet hebat. Tak se inci pun kaki bisa ku
angkat. Ingin rasanya berlari menuruni lereng dan menghilang di belahan bumi
lainnya. Ya, seperti kisah di novel kesukaanmu.
Bibir
danau kelimutu yang anggun menjadi saksi betapa aku lupa akan rumus kehidupan “kalau kita menyukai orang lain, maka tidak
otomatis orang itu menyukai kita. Jangan egois, jangan GR” dan segala rumus
kegalauan yang intinya membangunkan ku dari mimpi buruk yang ku indah kan
sendiri, dari angan yang sejatinya tidak pernah ada, dari harapan yang
sepenuhnya kosong, dari cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Tak
ada air mata yang menetes di pipi yang merona oleh suhu dingin danau kelimutu.
Terlalu tak bisa air mata memperjelas betapa tercabik-cabiknya hati. Hanya tak
terdengar, raungan hatiku lebih keras dari guntur sore tadi. Kemudian aku hanya
melihat dengan rinci bagaimana kau wahai pria idaman bergerak perlahan berlutut
di hadapan wanita pilihanmu. Dengan wajah gagah meyakinkan, mengeluarkan cincin
dan perlahan mengatakan “jadilah istriku”.
Tuhan,
cabut nyawa ku detik ini juga.
Danau
kelimutu adalah salah satu destinasi impian ku sejak dulu. Saat ini adalah
kesempatan emas untuk mewujdkannya. Desninasi yamg belum seindonnesia tahu
betapa tuhan maha sempurna menciptakan alam untuk para mahluknya.
Bersama
kalian sahabat-sahabat lama, para backpacker pemula, fotografer pemula, pecinta
alam pemula. Terpisah oleh kesibukan akademik di perguruan tinggi yang terpisah
oleh laut dan selat, kini kita berkumpul tempat tongkrongan favorit jaman
seragam putih abu-abu. Anjungan pantai yang remang-remang selepas senja bersama
cangkir-cangkir kopi yang hampir tak bersisa bersama kita petang ini.
Perjalanan
ke kelimutu murni dadakan. Dua hari setelah kumpul-kumpul singkat di anjungan remang-remang
kami memutuskan menjenguk danau tiga warna yang elok itu. Saat di anjungan saya
sempat bertanya pada didit, si fotografer kelas internasional wanna be,
“Kok
buru-buru amat, Dit? Kita ga ada kenalan di sana. Ke sananya gimana? Udah ada
yang pernah pergi gitu? Belum ada persiapan nih. Ribet ah..”
“Bawel..!!
kamu yang ribet. Lha tinggal pergi aja. Naik mobil, nyebrang, naik mobil lagi,
mendaki bentar, nyampe kita.”
“Tapi
butuh persiapan Dit.!” Aku agak sedikit meajuk.
“Dasar
cewek ya. Ribet mulu bawaannya. Kita gak nyampe seminggu di sana.” Didit tampak
mneghela napas beberapa kali.
“Maklum
napa dit. Aku kira bakal semingguan atau dua minggu lagi”
“Riri
bawel, dengar bro mu ini baik-baik. Kita pergi dadakan, bener. Kenapa? Akan ada
peristiwa besar yang akan terjadi nanti di sana.”
“Apa?”
“LAMARAN..!!!”
TITIK.
Aku
hanya mampu mengingat sepenggal percakapan ku dengan Didit. Lamaran yang
dimaksud Didit ternayata yang kini ku saksikan di depan mata. Dalam hati aku
hanya mampu menertawai diri sendiri. Rasa GR ku selangit yang menduga lamaran
yang dimaksud Didit adalah lamaran dia untuk ku. Iya, harusnya memang untuk ku.
Cincin itu, mawar biru itu. Hey, pantasnya itu untuk ku. Dia sudah banyak mengisyaratkan bahwa ia ada
rasa yang mungkin itu cinta untuk ku.
Aku
masih berdiri kaku. Mencoba menata kedipan mata, memperbaiki urat wajah dan
garis bibir. Mengontrol hati seindah mungkin. Beberapa lirik lagu simfoni
hitan sherina menari gemulai di depan
mata ku. Nyata aku bisa membacanya. Lagu tersendu yang menggambarkan kisah
hidup manusia malang seperti ku pada situasi yang menjerumus.
Gerimis
masih setia. Suhu udara semakin rendah. Senja hampir tiba. Detik-detik
kebanggaan mu.
Seperti
senja gerimis juga 2 tahun lalu. Saat kita masih sama-sama adalah pmahasiswa tingkat
akhir. Pertemuan terakhir sebelum hari ini tiba. Ceritacerita indah dari sepupumu
yang membeyatku bertahan dengan me.mendam cinta yang teramat sangat. Tidak berubah
sedikitpun.
“Udah
len, aku nyerah”
“Nyerah?
Riri?” Lena menatapku dengan sorotan mata encaman, entah.
“Ga
bisa len. Aku capek. Mungkin dia suka sama orang lain. Atau mungkin dia sudah
punya kekasih. Siapa yang tau.”
“Lama
kamu perjuangkan semua nya dan tibatiba nyerah gitu aja?”
“Len,
catet. Aku ga pernah memperjuangkan apa pun. Semua terjadi begitu saja. Suka sama
lawan jenis itu normal. Tak ada pengorbanan. “
“Ri,
sini”. Nela mengatur posisi duduknya dengan lebih dekat dengan ku. “ada rahasia
yang harus kamu tau.”
“Apa?”
“Dia
juga suka sama kamu.”
“Omong
kosong kamu Nel.”
“Beneran.
Serius. Kamu tau ri, aku pernah ngobrol sama abangnya. Dan abnagnya pernah
bialng, dia melihat foto cewek di dompetnya. Foto kamu. Abangnay juga bilang,
kayakna dia suka sama salah seorang teman sekelasnya waktu SMA. Kamu riri. Itu kamu.”
“Gitu
doing Nel? Dan aku harus percaya kalo dia suka sama aku. ?”
“Dengerin
lagi Ri. Dia cemburu saat kamu pernah dekat sama temen kuliah mu, siapa lah itu
namanya.”
“Ga
cukup nel, semua yang kamu katakana tidak cukup membuat ku percaya kalo dia
suka sama aku. Gak. Kecuali dia mengataknnya langsung.”
“Ngeyel
kamu ya. Pokoknya jangan nyerah, aku yakin kalian berjodoh.”
Dan
dalam hati aku sangat yakin. Ia, pria itu menyukaiku.
Gerimis
pun masih. Senja tiba. Ada pesona baru. Pelangi. Sempurna pun bumi hari ini,
bersama kehidupan baru untukmu dan dia, aku dan entah kisahku. Kemudian aku
kembali tersadar setelah mengakhiri lirik simfoni hitam dan lamunan singkat dua
tahun lalu. Kau masih menanti jawaban dari perempuanmu. Perempuanmu terlihat
berkaca-kaca, senyum sumringah. Bisa kubayangkan betapa bahagianya ia saat itu.
Lelaki hebat seperti mu berlutut dengan sungguh dan mengajaknya menghabiskan
sisa hidup dalam suka duka bersama. Perempuanmu tak mampu mengatakan sepatah
kata pun. Ia hanya berdiri merapakan kedua tangan nya. Sesekali menutupi wajah,
mungkin ia masih tak percaya hari ini ia akan merasa sebahagia itu.
Langit
semakin emas. Gerimis musnah perlahan terganti pelangi senja. Denting bellira
pengantar lagu simfoni hitam masih berdenging di telingan ku. Sungguh tuhan, katakan
jika saat ini aku hanya sedang tertidur. Sekali lagi, suara berat mu
memuntahkan kalimat yang mengiris batin ku.
“Ratih,
dengan penuh rasa harap aku meminta, jadiliah istriku. Jadilah perempuan yang
terakhir ku lihat saat akan terlelap, perempuan pertama yang ku tatap saat
terbangun di pagi hari. Mari kita berbahagia dalan rumah sederhana bersama anak-anak
yang manis, mari kita menua bersama. Menjalani hari hari dengan indah. Setiap pagi
kau mempebaiki ikatan dasiku saat akan berangkat kerja, dan menyambutku pulang
kerja dengan senum yang meneduhkan. Demi tuhan Ratih, jadilah istriku. Aku sangat
mencintaimu.”
Perempuanmu
kali ini bernar berurai air mata. Ia terharu. Mengangguk kecil dan mengatakan “iya”.
Satu kata yang menghujam jantung ku. Dan setelah itu tak aka nada kehidupan.
Satu
detik berlalu. Langit mulai menggelegar, seakan terbelah. Bumi berguncang hebat
dan memuntahkan isi perutnya. Melahap habis makhluk yang berdiri di atasnya. Bersamaan
pula angin dengan liarnya memporak-porandakan apa pun yang ia temui. Setidaknya
itulah yang aku rasakan.
Brukk..!!
Tiba-tiba
tubuh ku terasa sakit, kepala ku nyeri. Aku membentur tanah. Dan gelap. Denting bellira pembuka lagi
simfoni hitam masih berdenting di telinga ku. Dan samar suara berat mu yang
khas, “Astaga, Riri pingsan”.
**the
end**