Aku hanya diam tertunduk sambil memainkan tiga balok kecil es batu yang melayang mengapung dengan pipet pada segelas es lemon tea di atas meja tepat di depan ku. Balok es kecil Nampak begitu patuh pada gerakan tanganku. Sesekali kuputar searah jarum jam beberapa putaran, lalu ku putar kembali ke arah berlawanan. Di luar masih gerimis lebut, sisa derah hujan siang tadi. Sepi, ya jam pulang kantor telah usai. Kini senja. Menjelang gelap. Di ruangan ini pun terasa adem hampir begitu dingin. Pendingin ruangan dengan angka digital 25° tepat beberapa meter di depan ku, aku hanya perlu mendongak sedikit untuk memastikan aku tak salah melihat angkanya. Detak jarum jam di ruangan ini terdengar sangat jelas. Tentu, karena meja ku lah, meja di sudut ruangan yang besampingan dengan etalase kafe ini yang terisi. Aku tak sendiri, bersama seorang pelanggan lagi semeja dengan ku. Beberapa pelanggan lain telihat memasuki kafe, dengan sigap pelayan dengan seragam ungu langsung menghampiri meja mereka dan menawarkan menu dengan ramah. Bisa ku tebak, mereka memesan coffee latte atau minuman kopi hangat lainnya. Sejenak aku berpikir sendiri, mengerutkan kening, kenapa juga aku dipesankan lemon tea dengan cuaca begini.
Dia
mulai menyeruput cappuccino hangatnya, meletakkan cangkirnya dengan
tenang lalu menatap mata ku dalam. Sekejap kami bertemu pandang, lalu aku
kembali menundukkan kepala, hanyat dalam tornado tiga balok es kecil bersama es
lemon tea ku.
“Kamu
tak selayaknya menangis. Sungguh, aku. Atau kejadian ini bukan hal yang pantas
untukmu tangisi.”
Sok
bijak. Timpalku dalam hati. ”Lalu?”
”Kita
berkenalan baik-baik, memulaii pertemanan dengan sangat baik, lalu berkomitmen
untuk dekat dengan sangat baik pula ”
”Hingga
hari ini kamu merasa bosan. ” Potongku
Sesaat
ia menghela napas panjang. Lalu kembali menyeruput cappuccino yang
tersisa setengah cangkir. ”Mungkin hati kita perlu istrahat sejenak. Istrahat
untuk setiap hari menjelaskan rindu yang sudah sampai level berapa, sayang yang
sudah sedalam apa, cinta yang sudah sebuta apa ”
”Drama”.
Tak ku alihkan pandangan ku dari tornado tiga es balok lemon tea ku.
”Hey!
” Ia sedikit membungkuk ke arah ku.” Sedari awal kita memulai pertemuan dengan
cara paling indah, kenapa harus mengakhiri dengan keburukan? ”
”Kenapa
pula harus diakhiri?” Aku tak mengalihkan pandangan ku dari es lemon tea di
depan ku
”Sehelai
daun yang jatuh pun, tuhan sudah mengaturnya. Orang-orang yang hadir dalam
hidup kita, sengaja tak sengaja kita jumpai semua kehendak tuhan. Rasa yang
hadir pada setiap detiknya, hati yang berubah, es lemon tea yang kau
minum sekarang pun ”
”Boleh
aku Tanya?” Aku pun sedikit membungkukkan badan ku ke depan. ”Kenapa kalimat-kalimat
barusan enteng sekali keluar dari mulutmu? Sudah berapa lama kamu mempersiapkan
ini semua?”
Kembali
ia menyeruput capuccinonya dengan sangat tenang, meletakkan cangkirnya
kembali. ”Bahkan sebelum kita berkenalan. Mungkin dalam benakmu sekarang aku
hanyalah orang yang sok bijak. Tapi demi tuhan, aku hanya ingin aku dan kamu
lapang menerima setiap kejadian yang bertentangan dengan hati. Kita yang
bertemu, lalu bahagia bersama dan akhirnya berbiasa tanpa ada perasaan sakit
ketika berpapasan atau mengingat satu sama lain.”
“Berbiasa?
Kamu bilang bebiasa? Setelah hari ini mungkin hati ku akan bekerja seribu kali
dari biasanya. Beusaha untuk berbiasa. Berbiasa untuk melihat cup cappuccino
minuman kesukaan mu, berbiasa tanpa notifikasi hape jam 5 pagi, berbiasa untuk
semua hal yang terkait kamu. Aku juga harus mulai mengganti topik setiap akan
dan bangun tidur. Jika beberapa waktu lalu kamu adalah sosok yang menyenangkan
yang aku ingat saat akan dan bangun tidur, maka beberapa waktu ke depan kamu
akan jadi sosok yang paling tidak ingin ku ingat saat akan dan bangun tidur,
pada saat apa pun. Dan semua itu tidak bisa kau tuntaskan sekejap sampai cappuccino
mu habis.”
“Setidaknya
setelah cappuccino ku habis, kita tidak akan berakhir dengan kisah putus
cinta klise pasangan lainnya. Kita berduka tanpa saling membenci.
Bencilah aku sepuasmu saat ini hingga cappuccino ku habis. Hidup ini
cukup adil. Buat mu, buat ku. Sesakit-sakitnya hati mu hari ini, besok entah
sampai kapan pun itu, harusnya tidak sebanding dengan kebahagiaan yang pernah
kamu rasakan saat bersama ku.””
“Entah
apa pun alasanmu aku tahu hari ini pasti akan tiba juga. Suasana perpisahan
yang mencekam. Jujur, aku marah pada diriku sendiri kenapa harus bertemu dengan
mu, lalu kita berbahagia sesaat lalu berduka dan berpisah. Setelah cappuccino
mu habis, aku belum bisa berbiasa dan baik-baik saja seperti yang kamu
harapakan. Bangsa perempuan tidak seperti itu.”
“Kamu
mau tahu alasanku?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Jika
aku tahu alasanmu, akan ada dua dampak. Pertama, aku akan sangat membenci mu
mulai detik ini juga. Kedua, aku akan jadi orang bodoh. Kenapa aku tak mau
membenci mu? Karena tiba-tiba harus membenci orang yang sedang kita sayangi
adalah pekerjaan paling menyakitkan. Kedua, kenapa aku akan jadi orang bodoh,
sebab hanya orang bodoh yang akan berharap padahal tidak sedikitpun seseorang
memberinya harapan. Aku Cuma harus berbiasa seperti yang kamu katakan tadi.”
“Artinya
kita akan jadi teman baik? bersilaturahmi dengan biasa?” Tiba-tiba ia selempar
senyum sumringah yang menjijikan.
“Maaf?”
Aku sedikit mengerutkan dahi dan alisku
Aku
kok bingung sendiri ya dengan jalan pikiran laki-laki. Atau mungkin kamu
saja. Entahlah. “Kamu masih bisa meminta berteman baik dengan perempuan yang
baru saja kau patahkan hatinya beberapa menit lalu? Kamu ingin bersilaturahmi
dengan biasa kepada perempuan yang beberapa menit lalu kamu lukai hatinya.” Aku
mengangkat dan menggoyangkan jari tengah dan telunjuk pada kedua tanganku saat
mengatakan biasa. “Kamu tahu berapa lama perempuan harus menata kepingan
hatinya yang berserakan? Memungut satu demi satu puingnya hingga ia merasa
hatinya telah utuh. Percayalah, sampai ia berkata ia tidak kecewa padamu yang
telah memberikannya harapan lalu kau rampas paksa harapan itu. Tapi ia kecewa
pada dirinya sendiri karena membiarkan dirinya bermimpi kau punya harapan yang
luar biasa untuknya.
Kau
kau apa yang ingin aku lakukan sekarang? Andai harapan aku pada mu itu sebentuk
kertas, akan ku robek tepat di depan wajahmu.”
Gerimis
masih tampak dari etalase kafe. Semakin ringan dan lembut. Lampu-lampu jalan
mulai tampak terang. Laron dan beberapa hewan kecil bersayap mulai mengitari
lampu jalan yang sesekali mati. Es lemon tea ku menyisakan dua balok
kecil es batu. Sementara capuccino di depan ku hanya tinggal satu
seruput saja. Beberapa detik lagi diskusi aneh tanpa notulen dan moderator
dengan tema putus cinta akan berakhir. Dia berhasil. setidaknya selangkah
setelah ke luar kafe aku hanya akan menghela napas panjang dan tersenyum masam
saat menjumpai hal-hal yang mengingatkan tentang dia. Rasa kecewa, marah,
benci, segala bentuk sakit hati dan penyesalan tertinggal sepenuhnya di meja
pojok kafe. Demi tuhan, aku bejanji pada diriku tak akan kembali ke kafe itu
sampai kapanpun. Aku hanya perlu singgah di swalayan, membeli tissue wajah
kualitas terbaik, beberapa snack kemasan jumbo, minuman soda, dan beberapa
batang coklat mahal. Malam ini akan terasa panjang.