Rabu, 16 Maret 2016

Capuccino perpisahan





Aku hanya diam tertunduk sambil memainkan tiga balok kecil es batu yang melayang mengapung dengan pipet pada segelas es lemon tea di atas meja tepat di depan ku. Balok es kecil Nampak begitu patuh pada gerakan tanganku. Sesekali kuputar searah jarum jam beberapa putaran, lalu ku putar kembali ke arah berlawanan. Di luar masih gerimis lebut, sisa derah hujan siang tadi. Sepi, ya jam pulang kantor telah usai. Kini senja. Menjelang gelap. Di ruangan ini pun terasa adem hampir begitu dingin. Pendingin ruangan dengan angka digital 25° tepat beberapa meter di depan ku, aku hanya perlu mendongak sedikit untuk memastikan aku tak salah melihat angkanya. Detak jarum jam di ruangan ini terdengar sangat jelas. Tentu, karena meja ku lah, meja di sudut ruangan yang besampingan dengan etalase kafe ini yang terisi. Aku tak sendiri, bersama seorang pelanggan lagi semeja dengan ku. Beberapa pelanggan lain telihat memasuki kafe, dengan sigap pelayan dengan seragam ungu langsung menghampiri meja mereka dan menawarkan menu dengan ramah. Bisa ku tebak, mereka memesan coffee latte atau minuman kopi hangat lainnya. Sejenak aku berpikir sendiri, mengerutkan kening, kenapa juga aku dipesankan lemon tea dengan cuaca begini.
Dia mulai menyeruput cappuccino hangatnya, meletakkan cangkirnya dengan tenang lalu menatap mata ku dalam. Sekejap kami bertemu pandang, lalu aku kembali menundukkan kepala, hanyat dalam tornado tiga balok es kecil bersama es lemon tea ku.
“Kamu tak selayaknya menangis. Sungguh, aku. Atau kejadian ini bukan hal yang pantas untukmu tangisi.”
Sok bijak. Timpalku dalam hati. ”Lalu?”
”Kita berkenalan baik-baik, memulaii pertemanan dengan sangat baik, lalu berkomitmen untuk dekat dengan sangat baik pula ”
”Hingga hari ini kamu merasa bosan. ” Potongku
Sesaat ia menghela napas panjang. Lalu kembali menyeruput cappuccino yang tersisa setengah cangkir. ”Mungkin hati kita perlu istrahat sejenak. Istrahat untuk setiap hari menjelaskan rindu yang sudah sampai level berapa, sayang yang sudah sedalam apa, cinta yang sudah sebuta apa ”
”Drama”. Tak ku alihkan pandangan ku dari tornado tiga es balok lemon tea ku.
”Hey! ” Ia sedikit membungkuk ke arah ku.” Sedari awal kita memulai pertemuan dengan cara paling indah, kenapa harus mengakhiri dengan keburukan? ”
”Kenapa pula harus diakhiri?” Aku tak mengalihkan pandangan ku dari es lemon tea di depan ku
”Sehelai daun yang jatuh pun, tuhan sudah mengaturnya. Orang-orang yang hadir dalam hidup kita, sengaja tak sengaja kita jumpai semua kehendak tuhan. Rasa yang hadir pada setiap detiknya, hati yang berubah, es lemon tea yang kau minum sekarang pun ”
”Boleh aku Tanya?” Aku pun sedikit membungkukkan badan ku ke depan. ”Kenapa kalimat-kalimat barusan enteng sekali keluar dari mulutmu? Sudah berapa lama kamu mempersiapkan ini semua?”
Kembali ia menyeruput capuccinonya dengan sangat tenang, meletakkan cangkirnya kembali. ”Bahkan sebelum kita berkenalan. Mungkin dalam benakmu sekarang aku hanyalah orang yang sok bijak. Tapi demi tuhan, aku hanya ingin aku dan kamu lapang menerima setiap kejadian yang bertentangan dengan hati. Kita yang bertemu, lalu bahagia bersama dan akhirnya berbiasa tanpa ada perasaan sakit ketika berpapasan atau mengingat satu sama lain.”
“Berbiasa? Kamu bilang bebiasa? Setelah hari ini mungkin hati ku akan bekerja seribu kali dari biasanya. Beusaha untuk berbiasa. Berbiasa untuk melihat cup cappuccino minuman kesukaan mu, berbiasa tanpa notifikasi hape jam 5 pagi, berbiasa untuk semua hal yang terkait kamu. Aku juga harus mulai mengganti topik setiap akan dan bangun tidur. Jika beberapa waktu lalu kamu adalah sosok yang menyenangkan yang aku ingat saat akan dan bangun tidur, maka beberapa waktu ke depan kamu akan jadi sosok yang paling tidak ingin ku ingat saat akan dan bangun tidur, pada saat apa pun. Dan semua itu tidak bisa kau tuntaskan sekejap sampai cappuccino mu habis.”
“Setidaknya setelah cappuccino ku habis, kita tidak akan berakhir dengan kisah putus cinta klise pasangan lainnya. Kita berduka tanpa saling membenci. Bencilah aku sepuasmu saat ini hingga cappuccino ku habis. Hidup ini cukup adil. Buat mu, buat ku. Sesakit-sakitnya hati mu hari ini, besok entah sampai kapan pun itu, harusnya tidak sebanding dengan kebahagiaan yang pernah kamu rasakan saat bersama ku.””
“Entah apa pun alasanmu aku tahu hari ini pasti akan tiba juga. Suasana perpisahan yang mencekam. Jujur, aku marah pada diriku sendiri kenapa harus bertemu dengan mu, lalu kita berbahagia sesaat lalu berduka dan berpisah. Setelah cappuccino mu habis, aku belum bisa berbiasa dan baik-baik saja seperti yang kamu harapakan. Bangsa perempuan tidak seperti itu.”
“Kamu mau tahu alasanku?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Jika aku tahu alasanmu, akan ada dua dampak. Pertama, aku akan sangat membenci mu mulai detik ini juga. Kedua, aku akan jadi orang bodoh. Kenapa aku tak mau membenci mu? Karena tiba-tiba harus membenci orang yang sedang kita sayangi adalah pekerjaan paling menyakitkan. Kedua, kenapa aku akan jadi orang bodoh, sebab hanya orang bodoh yang akan berharap padahal tidak sedikitpun seseorang memberinya harapan. Aku Cuma harus berbiasa seperti yang kamu katakan tadi.”
“Artinya kita akan jadi teman baik? bersilaturahmi dengan biasa?” Tiba-tiba ia selempar senyum sumringah yang menjijikan.
“Maaf?” Aku sedikit mengerutkan dahi dan alisku
Aku kok bingung sendiri ya dengan jalan pikiran laki-laki. Atau mungkin kamu saja. Entahlah. “Kamu masih bisa meminta berteman baik dengan perempuan yang baru saja kau patahkan hatinya beberapa menit lalu? Kamu ingin bersilaturahmi dengan biasa kepada perempuan yang beberapa menit lalu kamu lukai hatinya.” Aku mengangkat dan menggoyangkan jari tengah dan telunjuk pada kedua tanganku saat mengatakan biasa. “Kamu tahu berapa lama perempuan harus menata kepingan hatinya yang berserakan? Memungut satu demi satu puingnya hingga ia merasa hatinya telah utuh. Percayalah, sampai ia berkata ia tidak kecewa padamu yang telah memberikannya harapan lalu kau rampas paksa harapan itu. Tapi ia kecewa pada dirinya sendiri karena membiarkan dirinya bermimpi kau punya harapan yang luar biasa untuknya.
Kau kau apa yang ingin aku lakukan sekarang? Andai harapan aku pada mu itu sebentuk kertas, akan ku robek tepat di depan wajahmu.”

Gerimis masih tampak dari etalase kafe. Semakin ringan dan lembut. Lampu-lampu jalan mulai tampak terang. Laron dan beberapa hewan kecil bersayap mulai mengitari lampu jalan yang sesekali mati. Es lemon tea ku menyisakan dua balok kecil es batu. Sementara capuccino di depan ku hanya tinggal satu seruput saja. Beberapa detik lagi diskusi aneh tanpa notulen dan moderator dengan tema putus cinta akan berakhir. Dia berhasil. setidaknya selangkah setelah ke luar kafe aku hanya akan menghela napas panjang dan tersenyum masam saat menjumpai hal-hal yang mengingatkan tentang dia. Rasa kecewa, marah, benci, segala bentuk sakit hati dan penyesalan tertinggal sepenuhnya di meja pojok kafe. Demi tuhan, aku bejanji pada diriku tak akan kembali ke kafe itu sampai kapanpun. Aku hanya perlu singgah di swalayan, membeli tissue wajah kualitas terbaik, beberapa snack kemasan jumbo, minuman soda, dan beberapa batang coklat mahal. Malam ini akan terasa panjang.