Sabtu, 16 Mei 2015

BEGINILAH KALO SUDAH MAINSTREAM

I LIKE MONDAY (ABDUR, DODIT, UUS)




                            OVERACTING (MUSLIM, PRASTEGUH, ARIF ALFIANSYAH)









RULE OF THREE (DZAWIN, DAVID, ABDUR)









STAND UP NITE WITH DZAWIN



KETIKA SI BUJANG JATUH CINTA

Selamat pagi, Senja.
Sebab senja ada setiap pagi. Setiap matahari hendak menepati janji pada semesta setelah ayam jantan menyahut manusia yang masih terlelap hingga matahari akan kembali perlahan merangkak di kaki langit lalu kembali membuat janji. Janji yang akan selalu ditepati hingga Tuhannya berkata berhenti.
“Selamat pagi, Senja!!!”
Teriakan suara si bujang dari jalanan berukuran lebar 2 meter tepat di belakang rumah cahaya. Rumah cahaya, rumah yang selalau memberikan cahaya kasih sayang pada setiap anak-anak yang tidak mengetahui siapa ayah dan ibu mereka.  Termasuk aku, Senja. Bunda Nini bilang, saat itu senja yang sangat indah. Dengan langkah tergesa-gesa seorang wanita paruh baya langsung meletakkan sebuah kardus di depan rumah cahaya. Lalu ia lari tergopoh-gopoh dan mungkin menangis. Tak sempat Bunda Nini bertanya sepatah kata pun. Wanita itu seketika hilang seperti hantu. Bunda Nini memandang lekat seonggok daging yang ternyata masih bernyawa. Seorang bayi yang dengan kuat menangis menjerit. Bayi itu tahu, ia kini telah ditinggal pergi oleh wanita tadi. Yang mungkin ia lahir dari rahimnya. Bunda Nini lalu hanya memanggil bayi itu dengan senja. Hanya senja. Aku.
Bulan berlalu tahun berganti. Senja tumbuh. Cantik. Dengan mata bulat dan agak besar, hidung nan elok meski tak mancung, bibir tipis dengan tahi lalat kecil di sudut kanan bibir bawah. dan  rambut hitam yann selalu dikucir ekor kuda. Sayang, Senja tumbuh tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun, tak mampu mendengar sebait kalimat pun tanpa alat bantu mendengar. Ya, dan itulah senja sekarang. Aku, si Senja berumur 24 tahun.
Pagi ini matahari belum terlalu terik. Bergegas aku membuka jendela kamar. Mencari sumber suara tadi. Suara si bujang. Lelaki muda paling berkarisma yang ada di rumah cahaya. Aku tak mampu bersuara apa pun saat ia melambaikan tangannya saat berlari kecil mengelilingi halaman belakang. Seperti pagi-pagi sebelumnya aku hanya mejawab dengan senyum lebar dan  mata yag berbinar. Ia tampak gagah dengan keringat yang mengucur di wajah dan lehernya. Aku langsung berbalik badan.
“Tidak. Behenti terpesona”. Aku menggerutu sendiri dalam hati
Bujang pun sama seperti ku. Entah kapan ia menjadi anak Bunda Nini dan menjadi saudara kami. Tak ada yang tahu. Hanya ia dan Bunda Nini. Sebab Bunda Nini tak pernah menceritakan bagaimana kami hingga bisa berada di rumah cahaya kepada orang lain. Aku hanya menduga, bujang terlebih dahulu menjadi penghuni rumah cahaya sebelum gadis senja itu tiba. Karena si bujang sekarang 25 tahun. Entahlah, itu hanya dugaanku.
Bujang adalah penggila senja. Senja yang sesungguhnya. Saat matahari benar merangkak di kaki langit ufuk barat. Lalu tercipta mega dan langit emas. Ketika beberapa penghuni rongga langit menyikap tirai sore lalu akan terlelap.
Setiap petang pun adalah detik-detik menggoyak jantung. Oleh setiap dongeng dan mimpi-mimpi si bujang. Seperti hari terakhir sebelum si bujang merantau untuk kuliah. Hari itu ia lebih awal mengajak ku di bukit tidak jauh dari rumah cahaya. Bukit yang setiap harinya bujang berdiri dan berteria mengucapkan selamat tingga kepada kekasihnya, mentari sore. Sunggu si bujang telah gila sejak ia lahir.
“Ada dongeng apa hari ini?” Aku menepuk pundaknya dan  memainkan jari membuyarkan lamunan si bujang
Perlahan bujang membuka tas kecilku dan mengambil alat bantu pendengaran lalu memasangnya di telingaku.
Perlahan ia berbisik “peri hujan”
Bujang tetawa kecil mungkin karena melihat ratusan tanda Tanya menempel di muka ku bak jerawat rindu seorang kekasih.
Kami duduk saling membelakngi dan bertemu punggung. Ia pun mulai mendongeng dan dan berimajinasi gila, menurutku.
Ah, aku terkantuk seperti biasa. Lalu kami akan pulang saat matahari telah benar tertelan ujung bumi sejauh mata memandang. Seperti biasa, bujang selalu menggendong ku karena ia tak selalu tega membangunkan si difabel ini saat ia terlelap. Oh bujang, harusnya ini terakhir kali kau menggendong ku.
Bujang masih berlari kecil mengelilingi taman belakang. Tiba-tiba ia mengejutkan ku dari balik jendela. Kaget, aku langsung menjatuhkan alat bantu pendengaranku. Bujang pun sigap melompati jendela yang tidak terlalu tinggi lalu mengambil alat bantu pendengaranku lalu ia menyigap rambutku lalu memasangnya kembali ke telinga ku. Wajah kami hanya berjarak sekian mili meter. Mungkin pun bersentuhan. Oh tuhan, seluruh tulangku serasa hilang. Bujang pun kembali melompat keluar melalui jendela. Ia mulai memainkan jari tangnnya yang berarti: “sebentar sore kita ke bukit belakang ya, seperti biasa”
Aku hanya mampu mengangguk pelan. Terpesona,
Enam tahun berlalu bujang pulang dengan gelar sarjana. Tak ada yang berubah. Ia tetap bujang yang menawan, dan semakin menawan. Untuk pertama kalinya setelah enam tahun kami kembali ke bukit dongeng. Menyapa petang dan seluruh makhluk yang menikmatinya.
Aku memainkan jari ku.
“Setelah enam tahun pasti banyak dongeng yang kau simpan, hari ini mau cerita dongen yang mana dulu?”
Ia langsung duduk di hadapanku.
“Hari ini tinggal satu dongeng yang tersisa, selebihnya sudah ku ceritakan.”
“Ohya? Sama siapa?”
“Diakhir dongeng ku akan ku beri tahu. Kali ini tentang peri senja.”
“Peri lagi?” Aku menyela
“Iya, tapi dia berbeda dengan peri yang lainnya. Ia benar ada. Di bukit sana.” Bujang menunjuk bukit kecil tepat matahari akan terbenam.
“Di sana sangat banyak peri senja. Mereka berwarna emas. Itu lah kenapa setiap senja langit berwarna emas. Mereka menebarkan cahaya mereka ke seluruh penjuru langit. Tapi, sebenarnya salah satu diantara mereka adalah dulunya seorang manusia. Ia dihukum menjadi peri senja dan mengatur detik-detik terbenamnya matahari.”
“Kenapa dia dihukum?” Aku kembali menyela
Bujang tampak berpikir. “Karena dulu dia sangat tidak menyukai senja. Ia bisa kembali jadi manusia kalau ia bertemu dengan pria yang menyukai senja. Makannya, setiap malam ia diberi kesempatan berubah menjadi manusia dan mencari pria tersebut.”
“Bagaimana dia tahu, kalau pria tersebut menyukai senja? Dia kan jadi manusia di malam hari.”
D”ia akan menempelkan alat pendeteksi apa yang akan dilakukan pria tersebut seharian. Jadi, dia tahu apakah pria tersebut betul menyukai senja atau tidak.”
Bujang mulai ngawur. Pikirku dalam hati.
“Lalu? Ia bertemu dengan pria tersebut?”
“Tentu. Mereka berkenalan di pantai pinggir kota pada malam bulan setengah purnama. Langit malam yan"g cerah dan bebauan sisa senja masih tercium.”
“Jadi?”
“Si peri senja itu kini telah jadi manusia dan hidup bahagia dengan pria penyuka senja tersebut.”
“Klise. Selalu saja berakhir bahagia. Apa setiap dongeng begitu?”
“Tentu, karena setiap dongeng adalah mimpi dari penciptanya. Siapa yang tidak ingin berakhir bahagia hidupnya.”
“Tetap saja klise.”
“Tumben kau tak tertidur.” Bujang menggodaku.
L”alu, kepada siapa kau menceritakan dongeng lainnya?” Aku mengalihkan pembicaraan.
Sebelum menjawab, kali ini bujang menarik napas panjang, lalu tersenyum dengan sangat manis. Oh tuhan, pipi ku memerah.
“Peri senja, maksud ku peri senja yang kemudian berubah menjdi manusia.”
“Dan kamu adalah pria dalam dongeng itu? Peri senja itu, maksudny perempuan itu siapa?”
“Besok kau akan menemuinya.”
Singkat, jawaban bujang yang membut nyawaku telah smpai di tenggorokan. Jari tangan ku kaku.
“Ayok pulang, sudah gelap.”
Bujang memasang posisi akan menggendong ku. Aku hanya berjalan lurus dengan tatapan kosong mengikuti jalan setapak menuju rumah cahaya. Bujang sangat tahu, saat itu ia telah membuatku patah hati oleh peri senja nya.
Dan si bujang telah benar jatuh cinta. Oleh setiap kegilaaannya pada senja Tuhan setiap harinya.    
Benar saja, besoknya perempuan jelmaan peri senja itu datang. Cantik, anggun seperti peri. Bagaimana tidak bujang tak terpesona. Benar akhir kisah dongeng yang selalu ada, mereka hidup bahagia selamanya.
Si bujang pun jatuh cinta.

Makassar, senja hari.

Senin, 11 Mei 2015

Bagaimana Tak Rindu?

Seperti tuhan yang Maha Adil mengirim matahari penghangat pagi mu dan bulan setengah purnama yang memecah pekatnya dini hari. Seperti hati dan logika, rindu ini mulai membelah. Saya terkapar terlena di pagi buta, lalu tenggelam di senja sepi. Banyak yang salah dengan dilema rindu yang terpercik ini.

Dari jauh kau selalu menagih janji yang tidak pernah ku buat. Menuggu surat cinta yang “apakah harus kutulis?” berharap jika lah aku memetik gitar dan menyanyikan lagu cinta dan terselip nama mu dalam setiap bait liriknya. Itu kah yang kau mau? Lalu bagaimana hati tak rindu? Bagaimana tidak senja memerahkan awan, lalu gelap, dan bulan pun setengah purnama.

Setelahnya lalu pagi. Adalah siluetnya yang menyipitkan garis kelopak mata. Lalu kau yang lain berjalan sombong seperti terbang dari permukaan fajar menutupinya lalu mendekat. Dan hilanglah siluet itu lalu menjelma menjadi sebuah wajah dengan bola mata yang melemahkan hati. Harus lagi aku bertanya, bagaimana tak rindu? Harus lagi aku meminta, berdirilah hingga fajar esoknya. Sebab cahaya dibelakang mu terlampau menyilaukan. Sebab ia akan merangkak di rongga langit lalu mencipakan senja. Senja pilu. Takut rasanya, karena belum ada janji, tak ada surat cinta, dan tidak ada lagu-lagu cinta, mungkin  tak akan pernah ada,   

Masih pagi, rumah perawatan ETN Center Makassar.
Mengabaikan jurnal dan laporan, saya lebih tertarik berbasa-basi dalam lembaran word ini.
Dinas pagi tanpa pasien begitu membosankan, dan benar jadinya saya tetiba rindu pada mu.