Selamat
pagi, Senja.
Sebab
senja ada setiap pagi. Setiap matahari hendak menepati janji pada semesta
setelah ayam jantan menyahut manusia yang masih terlelap hingga matahari akan
kembali perlahan merangkak di kaki langit lalu kembali membuat janji. Janji
yang akan selalu ditepati hingga Tuhannya berkata berhenti.
“Selamat
pagi, Senja!!!”
Teriakan
suara si bujang dari jalanan berukuran lebar 2 meter tepat di belakang rumah
cahaya. Rumah cahaya, rumah yang selalau memberikan cahaya kasih sayang pada
setiap anak-anak yang tidak mengetahui siapa ayah dan ibu mereka. Termasuk aku, Senja. Bunda Nini bilang, saat
itu senja yang sangat indah. Dengan langkah tergesa-gesa seorang wanita paruh
baya langsung meletakkan sebuah kardus di depan rumah cahaya. Lalu ia lari
tergopoh-gopoh dan mungkin menangis. Tak sempat Bunda Nini bertanya sepatah
kata pun. Wanita itu seketika hilang seperti hantu. Bunda Nini memandang lekat
seonggok daging yang ternyata masih bernyawa. Seorang bayi yang dengan kuat
menangis menjerit. Bayi itu tahu, ia kini telah ditinggal pergi oleh wanita
tadi. Yang mungkin ia lahir dari rahimnya. Bunda Nini lalu hanya memanggil bayi
itu dengan senja. Hanya senja. Aku.
Bulan
berlalu tahun berganti. Senja tumbuh. Cantik. Dengan mata bulat dan agak besar,
hidung nan elok meski tak mancung, bibir tipis dengan tahi lalat kecil di sudut
kanan bibir bawah. dan rambut hitam yann
selalu dikucir ekor kuda. Sayang, Senja tumbuh tanpa mampu mengucapkan sepatah
kata pun, tak mampu mendengar sebait kalimat pun tanpa alat bantu mendengar.
Ya, dan itulah senja sekarang. Aku, si Senja berumur 24 tahun.
Pagi
ini matahari belum terlalu terik. Bergegas aku membuka jendela kamar. Mencari
sumber suara tadi. Suara si bujang. Lelaki muda paling berkarisma yang ada di
rumah cahaya. Aku tak mampu bersuara apa pun saat ia melambaikan tangannya saat
berlari kecil mengelilingi halaman belakang. Seperti pagi-pagi sebelumnya aku
hanya mejawab dengan senyum lebar dan
mata yag berbinar. Ia tampak gagah dengan keringat yang mengucur di
wajah dan lehernya. Aku langsung berbalik badan.
“Tidak.
Behenti terpesona”. Aku menggerutu sendiri dalam hati
Bujang
pun sama seperti ku. Entah kapan ia menjadi anak Bunda Nini dan menjadi saudara
kami. Tak ada yang tahu. Hanya ia dan Bunda Nini. Sebab Bunda Nini tak pernah
menceritakan bagaimana kami hingga bisa berada di rumah cahaya kepada orang
lain. Aku hanya menduga, bujang terlebih dahulu menjadi penghuni rumah cahaya
sebelum gadis senja itu tiba. Karena si bujang sekarang 25 tahun. Entahlah, itu
hanya dugaanku.
Bujang
adalah penggila senja. Senja yang sesungguhnya. Saat matahari benar merangkak
di kaki langit ufuk barat. Lalu tercipta mega dan langit emas. Ketika beberapa penghuni
rongga langit menyikap tirai sore lalu akan terlelap.
Setiap
petang pun adalah detik-detik menggoyak jantung. Oleh setiap dongeng dan
mimpi-mimpi si bujang. Seperti hari terakhir sebelum si bujang merantau untuk kuliah.
Hari itu ia lebih awal mengajak ku di bukit tidak jauh dari rumah cahaya. Bukit
yang setiap harinya bujang berdiri dan berteria mengucapkan selamat tingga
kepada kekasihnya, mentari sore. Sunggu si bujang telah gila sejak ia lahir.
“Ada
dongeng apa hari ini?” Aku menepuk pundaknya dan memainkan jari membuyarkan lamunan si bujang
Perlahan
bujang membuka tas kecilku dan mengambil alat bantu pendengaran lalu
memasangnya di telingaku.
Perlahan
ia berbisik “peri hujan”
Bujang
tetawa kecil mungkin karena melihat ratusan tanda Tanya menempel di muka ku bak
jerawat rindu seorang kekasih.
Kami
duduk saling membelakngi dan bertemu punggung. Ia pun mulai mendongeng dan dan
berimajinasi gila, menurutku.
Ah,
aku terkantuk seperti biasa. Lalu kami akan pulang saat matahari telah benar
tertelan ujung bumi sejauh mata memandang. Seperti biasa, bujang selalu
menggendong ku karena ia tak selalu tega membangunkan si difabel ini saat ia
terlelap. Oh bujang, harusnya ini terakhir kali kau menggendong ku.
Bujang
masih berlari kecil mengelilingi taman belakang. Tiba-tiba ia mengejutkan ku
dari balik jendela. Kaget, aku langsung menjatuhkan alat bantu pendengaranku.
Bujang pun sigap melompati jendela yang tidak terlalu tinggi lalu mengambil
alat bantu pendengaranku lalu ia menyigap rambutku lalu memasangnya kembali ke
telinga ku. Wajah kami hanya berjarak sekian mili meter. Mungkin pun
bersentuhan. Oh tuhan, seluruh tulangku serasa hilang. Bujang pun kembali
melompat keluar melalui jendela. Ia mulai memainkan jari tangnnya yang berarti:
“sebentar sore kita ke bukit belakang ya, seperti biasa”
Aku
hanya mampu mengangguk pelan. Terpesona,
Enam
tahun berlalu bujang pulang dengan gelar sarjana. Tak ada yang berubah. Ia
tetap bujang yang menawan, dan semakin menawan. Untuk pertama kalinya setelah
enam tahun kami kembali ke bukit dongeng. Menyapa petang dan seluruh makhluk
yang menikmatinya.
Aku
memainkan jari ku.
“Setelah
enam tahun pasti banyak dongeng yang kau simpan, hari ini mau cerita dongen
yang mana dulu?”
Ia
langsung duduk di hadapanku.
“Hari
ini tinggal satu dongeng yang tersisa, selebihnya sudah ku ceritakan.”
“Ohya?
Sama siapa?”
“Diakhir
dongeng ku akan ku beri tahu. Kali ini tentang peri senja.”
“Peri
lagi?” Aku menyela
“Iya,
tapi dia berbeda dengan peri yang lainnya. Ia benar ada. Di bukit sana.” Bujang
menunjuk bukit kecil tepat matahari akan terbenam.
“Di
sana sangat banyak peri senja. Mereka berwarna emas. Itu lah kenapa setiap
senja langit berwarna emas. Mereka menebarkan cahaya mereka ke seluruh penjuru
langit. Tapi, sebenarnya salah satu diantara mereka adalah dulunya seorang
manusia. Ia dihukum menjadi peri senja dan mengatur detik-detik terbenamnya
matahari.”
“Kenapa
dia dihukum?” Aku kembali menyela
Bujang
tampak berpikir. “Karena dulu dia sangat tidak menyukai senja. Ia bisa kembali
jadi manusia kalau ia bertemu dengan pria yang menyukai senja. Makannya, setiap
malam ia diberi kesempatan berubah menjadi manusia dan mencari pria tersebut.”
“Bagaimana
dia tahu, kalau pria tersebut menyukai senja? Dia kan jadi manusia di malam
hari.”
D”ia
akan menempelkan alat pendeteksi apa yang akan dilakukan pria tersebut
seharian. Jadi, dia tahu apakah pria tersebut betul menyukai senja atau tidak.”
Bujang
mulai ngawur. Pikirku dalam hati.
“Lalu?
Ia bertemu dengan pria tersebut?”
“Tentu.
Mereka berkenalan di pantai pinggir kota pada malam bulan setengah purnama.
Langit malam yan"g cerah dan bebauan sisa senja masih tercium.”
“Jadi?”
“Si
peri senja itu kini telah jadi manusia dan hidup bahagia dengan pria penyuka
senja tersebut.”
“Klise.
Selalu saja berakhir bahagia. Apa setiap dongeng begitu?”
“Tentu,
karena setiap dongeng adalah mimpi dari penciptanya. Siapa yang tidak ingin
berakhir bahagia hidupnya.”
“Tetap
saja klise.”
“Tumben
kau tak tertidur.” Bujang menggodaku.
L”alu,
kepada siapa kau menceritakan dongeng lainnya?” Aku mengalihkan pembicaraan.
Sebelum
menjawab, kali ini bujang menarik napas panjang, lalu tersenyum dengan sangat
manis. Oh tuhan, pipi ku memerah.
“Peri
senja, maksud ku peri senja yang kemudian berubah menjdi manusia.”
“Dan
kamu adalah pria dalam dongeng itu? Peri senja itu, maksudny perempuan itu
siapa?”
“Besok
kau akan menemuinya.”
Singkat,
jawaban bujang yang membut nyawaku telah smpai di tenggorokan. Jari tangan ku
kaku.
“Ayok
pulang, sudah gelap.”
Bujang
memasang posisi akan menggendong ku. Aku hanya berjalan lurus dengan tatapan
kosong mengikuti jalan setapak menuju rumah cahaya. Bujang sangat tahu, saat
itu ia telah membuatku patah hati oleh peri senja nya.
Dan
si bujang telah benar jatuh cinta. Oleh setiap kegilaaannya pada senja Tuhan
setiap harinya.
Benar
saja, besoknya perempuan jelmaan peri senja itu datang. Cantik, anggun seperti
peri. Bagaimana tidak bujang tak terpesona. Benar akhir kisah dongeng yang
selalu ada, mereka hidup bahagia selamanya.
Si
bujang pun jatuh cinta.
Makassar, senja hari.